Jawapes Kota Probolinggo – Program relokasi pedagang kaki lima (PKL) ke kawasan sentra kuliner GOR A Yani dinilai tidak berjalan sesuai harapan. Alih-alih meningkatkan kenyamanan berdagang, kebijakan ini justru membuat sebagian pedagang terpuruk karena sepinya pengunjung dan turunnya pendapatan. Kondisi tersebut menarik perhatian Wakil Ketua DPRD Kota Probolinggo, H. Abdul Mujib, yang turun langsung meninjau lokasi pada Minggu (5/10/2025).
Dalam kunjungannya, Abdul Mujib menilai bahwa sejumlah fasilitas dasar belum terpenuhi dengan baik. Ia menyebut pasokan air kerap bermasalah, sementara rencana kenaikan retribusi dianggap tidak tepat di tengah situasi ekonomi pedagang yang serba sulit. "Kenyataannya di lapangan memang memprihatinkan. Lokasi sepi, fasilitas belum optimal, tapi justru ada wacana menaikkan retribusi. Ini tidak sejalan dengan semangat pemberdayaan," ujar politikus PKB itu.
Menurutnya, relokasi tanpa dukungan fasilitas dan promosi yang memadai membuat omzet pedagang anjlok tajam. Sebagian besar mengaku hanya memperoleh pendapatan sekitar Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per hari, jauh di bawah penghasilan sebelumnya ketika masih berjualan di pujasera kawasan Alun-Alun Kota Probolinggo. "Banyak pedagang yang kini bahkan tidak mampu menutup modal harian," ungkap Mujib.
Untuk mengatasi krisis tersebut, ia mengajukan dua langkah darurat kepada pemerintah daerah. Pertama, pembebasan retribusi sementara bagi seluruh pedagang di kawasan GOR A Yani selama lima bulan. Kedua, pemberian bantuan stimulus untuk memulihkan kegiatan ekonomi para PKL. "Pemerintah tidak boleh tinggal diam. Ini menyangkut hajat hidup masyarakat kecil," tegasnya.
Mujib juga mengingatkan potensi munculnya persoalan sosial baru apabila pedagang terdesak kebutuhan modal. Ia khawatir mereka akan mencari pinjaman ke pihak rentenir yang menawarkan bunga tinggi. "Jika dibiarkan, mereka bisa terjerat utang berkepanjangan. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga sosial," katanya menambahkan.
Keluhan pedagang turut memperkuat kondisi lapangan yang disampaikan Mujib. Fita Fatimah (40), penjual gorengan, mengatakan omzetnya kini tak menentu. "Kadang hanya laku sedikit, sisanya dibawa pulang. Pernah cuma sisa lima ribu rupiah," tuturnya. Hal serupa dialami Wahyudi, penjual nasi lalapan, yang mengaku dagangannya sering tidak habis terjual hingga terpaksa dibuang.
Para pedagang menilai rencana kenaikan retribusi dari Rp90 ribu menjadi Rp150 ribu per bulan justru memperparah keadaan. "Sekarang saja berat, apalagi kalau naik. Pengunjung sepi, kami bisa makin terpuruk," ujar Misna (54), penjual kopi. Mereka juga menyoroti kondisi tempat yang panas tanpa peneduh, membuat pembeli enggan datang pada siang hari.
Menutup kunjungannya, Abdul Mujib berjanji akan membawa persoalan ini ke rapat DPRD Kota Probolinggo untuk didorong menjadi agenda prioritas. Ia berharap Pemkot segera merumuskan langkah nyata agar para pedagang dapat kembali memperoleh penghasilan yang layak. "Kami ingin GOR A Yani benar-benar menjadi pusat kuliner yang hidup, bukan tempat pedagang kehilangan penghidupan," pungkasnya.(Id)
View
Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments