Jawapes, SURABAYA | Senin (29/9/2025) – Pengaduan masyarakat terkait dugaan tindak pidana korupsi terus mengalir ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data periode 2020–2024 mencatat Surabaya menempati peringkat pertama dengan 343 laporan masyarakat, disusul Kabupaten Sidoarjo dengan 72 aduan, serta Kabupaten Probolinggo 64 aduan. Sementara daerah dengan aduan terendah ialah Kota Blitar dengan 6 laporan, Kabupaten Ngawi 4, dan Kabupaten Magetan 4 laporan.
Data tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah III KPK dalam agenda roadshow bus KPK dan rapat koordinasi pemberantasan korupsi di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Strategi KPK dalam menekan tindak pidana korupsi diawali dari upaya edukasi, pencegahan, hingga penindakan hukum, seiring program PAKU Integritas bagi penyelenggara negara.
KPK mencatat, sejak reformasi hingga kini, 54 persen dari 1.642 pelaku korupsi yang ditangani KPK adalah pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Modus yang kerap ditemui antara lain penyalahgunaan APBD, pengelolaan aset, perizinan, pengadaan barang/jasa, hingga regulasi daerah.
Respons Wali Kota Surabaya
Menanggapi tingginya aduan dari Surabaya, Wali Kota Eri Cahyadi menegaskan bahwa angka 343 laporan tersebut bukan seluruhnya ditujukan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Menurutnya, hanya sekitar 30 aduan yang terkait langsung dengan Pemkot, dan itu pun lebih banyak berupa keluhan layanan serta pembangunan, bukan kasus korupsi.
“Kalau semua aduan ditujukan ke Pemkot, tentu nilai Monitoring Center for Prevention (MCP) dari KPK tidak mungkin mencapai 97 poin peringkat pertama di Jawa Timur pada 2023. Survei Penilaian Integritas (SPI) kita juga berada di angka 79,57 persen,” tegas Eri.
Ia menambahkan, banyak instansi lain beralamat di Surabaya, mulai dari kementerian, lembaga vertikal, hingga perwakilan Pemprov, sehingga tidak semua laporan bisa serta-merta diarahkan kepada Pemkot Surabaya.
Aksi Massa “Surabaya Darurat Korupsi”
Meski demikian, kekecewaan publik tetap mencuat. Puluhan massa yang tergabung dalam Solidaritas Pemuda Mahasiswa-Merah Putih (SPM-MP) menggelar aksi demonstrasi di Balai Kota Surabaya pada Kamis (25/9/2025).
Dengan tema “Surabaya Darurat Korupsi”, massa menyoroti sejumlah pos anggaran yang dianggap janggal, seperti perjalanan dinas luar negeri bernilai miliaran, biaya konsumsi pejabat yang berlebihan, serta penyewaan perlengkapan acara dengan nominal tidak wajar.
Mereka menduga APBD Surabaya 2025 sarat manipulasi, mark up, pemborosan, dan utang berbunga tinggi yang melukai masyarakat. Dalam dokumen RKA Sekretariat Daerah 2025, terungkap sejumlah anggaran fantastis, di antaranya:
- Sewa peralatan & mesin: Rp25,63 miliar
- Sewa panggung, tenda, LED multimedia: Rp10,85 miliar
- Sewa mebel: Rp4,86 miliar
- Sewa elektronik: Rp2,95 miliar
- Sewa 3.000 kipas angin: Rp1,3 miliar (Rp 433 ribu per unit)
Selain itu, Pemkot Surabaya tercatat menanggung utang Rp 513,86 miliar dengan bunga 13,7 persen, jauh di atas standar pinjaman BUMN SMI (6,5–7 persen). Bahkan, rencana penambahan utang Rp 2,9 triliun di tahun 2026 menuai kritik tajam karena dinilai menggadaikan masa depan warga.
Laporan Resmi ke Kejati Jatim
Puncaknya, pada Sabtu (27/9/2025), SPM-MP secara resmi melaporkan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Laporan itu memuat dugaan korupsi melalui mark up perjalanan dinas luar negeri, pembengkakan biaya konsumsi, pengelolaan utang dengan bunga tinggi, serta kejanggalan lain dalam APBD 2025.
Wali Kota Surabaya harus diperiksa dan bertanggung jawab. Uang rakyat tidak boleh dijadikan bancakan korupsi. Kota Surabaya bukan milik segelintir elit, melainkan seluruh rakyat Indonesia,” tegas Eko Gagak.
Tiga Tuntutan Utama
Dalam pernyataannya, massa menyuarakan tiga tuntutan tegas:
1. Memeriksa dan mengadili Wali Kota Surabaya terkait dugaan penyalahgunaan wewenang.
2. Melakukan audit menyeluruh APBD Surabaya 2025, untuk mengungkap indikasi korupsi dan pemborosan.
3. Menuntut aparat hukum turun tangan aktif memberantas penyimpangan anggaran.
Seruan Lengser Jika Terbukti
Aksi tersebut ditutup dengan ultimatum keras bahwa Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi wajib lengser dari jabatannya jika terbukti terlibat korupsi. Mereka juga menekankan agar kasus ini diproses secara hukum tanpa intervensi politik.
Ini adalah bentuk perlawanan rakyat terhadap praktik korupsi di Kota Pahlawan. Jika terbukti, Eri Cahyadi harus turun. Tidak ada alasan politik yang bisa dijadikan tameng,” pungkas Eko Gagak Aktivis 98. (*)
View
Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments