Jawapes, SURABAYA – Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kajati Jatim), Prof. (HCUA) Dr. Mia Amiati, S.H., M.H., CMA., CSSL., memimpin Ekspose Mandiri terhadap 11 perkara yang diusulkan untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan prinsip Keadilan Restoratif.
Kegiatan ini berlangsung secara virtual pada Kamis, 6 Februari 2025, dan dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk Aspidum, para Koordinator, serta para Kasi di Bidang Pidum Kejati Jatim. Selain itu, turut serta para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dari beberapa daerah, seperti Surabaya, Banyuwangi, Kota Malang, Tuban, Bangkalan, Kabupaten Blitar, Kabupaten Probolinggo, dan Sampang.
Sebelas perkara yang diajukan untuk penghentian penuntutan terdiri dari berbagai jenis tindak pidana. Lima perkara berada dalam Seksi A, yakni satu perkara penganiayaan yang diajukan oleh Kejari Banyuwangi, dua perkara penganiayaan yang diajukan oleh Kejari Kabupaten Blitar dan Kejari Kabupaten Probolinggo, satu perkara penadahan yang diajukan oleh Kejari Surabaya, serta satu perkara pencurian yang diajukan oleh Kejari Bangkalan. Dua perkara lainnya berada dalam Seksi B, yaitu satu perkara penyalahgunaan narkotika yang diajukan oleh Kejari Kota Malang dan satu perkara penyalahgunaan narkotika lainnya yang diajukan oleh Kejari Sampang. Sementara itu, empat perkara berada dalam Seksi E, yang seluruhnya merupakan kasus kecelakaan lalu lintas dan diajukan oleh Kejari Surabaya, Kejari Kota Malang, Kejari Tuban, serta Kejari Kabupaten Blitar.
Kajati Jatim Mia Amiati menegaskan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini merupakan bukti komitmen negara dalam memberikan pendekatan yang lebih manusiawi dalam penegakan hukum. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah menciptakan rasa keadilan di masyarakat, terutama bagi mereka yang mungkin merasa terpinggirkan. Keadilan restoratif memberikan kesempatan bagi pelaku dan korban untuk mencapai kesepakatan damai, dengan fokus pada pemulihan kerugian korban dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat.
Mia Amiati menambahkan bahwa Keadilan restoratif bukanlah bentuk impunitas bagi pelaku kejahatan. Proses ini memiliki persyaratan ketat, di antaranya hanya berlaku bagi tersangka yang baru pertama kali melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun penjara. Selain itu, harus ada kesepakatan damai antara korban dan tersangka serta pemulihan hak-hak korban dengan respon positif dari masyarakat. Untuk kasus penyalahgunaan narkotika, tersangka harus merupakan pengguna untuk diri sendiri (end-user), bukan produsen, bandar, pengedar, atau kurir narkotika.
Menurutnya, Keadilan restoratif menjadi instrumen penting dalam menciptakan sistem peradilan yang lebih adil dan berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar hukuman. (Red)
Pembaca
Posting Komentar