SISTEM KETATA NEGARAAN NEGARA INDONESIA SISTEM SENDIRI BUKAN PARLEMENTER MAUPUN PRESIDENSEIL


Oleh ; Ir. Prihandoyo Kuswanto Ketua Pusat Studi  Rumah Pancasila 


Jawapes Surabaya - Ternyata amandemen sistem Pemerintahan Negara Indonesia yang dilakukan oleh MPR antara 1999-2002 didasarkan pada asumsi yang salah. Para anggota MPR, mengacu pada Risalah Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI, terbitan Sekretariat Negara R.I. yang antara lain menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah sistem presidensial. 

Asumsi tersebut jelas salah karena para perumus Konstitusi pertama tersebut merancang UUD 1945 berlandaskan pada kaidah dasar negara kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat, serta penyelenggaraan demokrasi sosial-ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial, dan demokrasi perwakilan-permusyawaratan sebagaimana dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945. 

Bila memang demikian, maka Gerakan Reformasi untuk meluruskan dan memurnikan pelaksanaan UUD 1945 pasti tidak mampu mencapai tujuannya karena UUD baru hasil 4 kali amandemen jelas-jelas telah menyimpang staats fundamentalnorms yang terdapat dalam Pembukaan UUD tersebut, dan lebih-lebih dari faham kekeluargaan atau kolektivisme model Indonesia yang mendasari penyusunan UUD 1945. 

Akibat amandemen yang tidak mengacu pada pembukaan UUD 1945 tanpa disadari ternyata Amandemen telah menganti aliran pemikiran ke Indonesian dan amandemen UUD 1945 juga telah merubah dasar ketatanegaraan yaitu kolektivisme ,kebersamaan ,kekeluargaan ,musyawarah mufakat .

Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan. 

Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. 

Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan lagi di negara Eropah Barat. 

Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. 

Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.

Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. 

Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. 

Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat dbemokrasi. 

Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“ sesuai usulan Dr. Soekiman, anggota BPUPKI dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil BPUPK.. 

Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR.

Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial, dan Indonesia dipandang sebagai salah satu negara di dunia yang paling pertama menggunakan sistem semi-presidensial.

Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial. 

Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer.

Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. 

Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR 
Presiden yang menjalankan di kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). 

Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-undang.

Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPK dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat kompleks.

Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. 

Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.

Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial. 

Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR.

Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lembaga permusyawaratan perwakilan.

Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya.

Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial.

Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.
Berbeda dengan pemikiran BPUPKI dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial.

Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. 

Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPKI dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. 

Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia.

Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi:

“Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya. 
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.

Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara … Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif … „

Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. 

Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satu-satunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen UUD 1945 dilakukan. 

(CSan/Prihd)

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama