MATINYA SANG PENGGERAK

            M.ISA ANSORI
 
OPINI
Oleh: M.Isa Ansori.
(Dewan Pendidikan Jawa Timur)

Jawapes Surabaya - Kegaduhan program organisasi penggerak besutan Mas Nadiem Mendikbud belumlah reda, bahkan komentar bernada kritis kalau tak boleh dikatakan sinis dan desakan presiden untuk mencopot Mas Menteri terdengar menggaung di ruang terhormat Senayan Jakarta.

Mundurnya NU , Muhammadiyah dan disusul oleh PGRI dari program besutan mas menteri Nadiem program organisasi penggerak ( POP ). Alasan kemunduran itupun sederhana diantaranya Mas Nadiem tidak mampu melihat skala prioritas serta keterlibatan dua perusahaan besar yang semestinya bisa menggunakan dananya sendiri, tapi justru malah disubsidi oleh APBN. Terlepas dari alasan alasan tersurat diatas, mungkinkah ada alasan alasan tersirat lainnya ?

Lalu program organisasi penggerak itu seperti apa sih? Program Organisasi Penggerak (POP) merupakan salah satu program unggulan Kemendikbud. Program itu bertujuan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.

Dalam program ini, Kemendikbud akan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan.
Nah kalau melihat maksud baik dari program tersebut, maka mundurnya NU, Muhammadiyah dan PGRI tentu tidak sekedar persoalan - persoalan tersurat diatas. Bagi NU, Muhammadiyah dan PGRI yang sudah kenyang makan asam garam pendidikan, tanpa terlibatpun mereka akan terus bergerak untuk pendidikan Indonesia.

Lalu apa yang menyebabkan kegaduhan ini? Sambil ditemani wedang jeruk madu dan tiga buah buku yang baru mampir diberanda rak. Saya mencoba memaknai apa yang membuat NU, Muhammadiyah dan PGRI mundur dari program ini ? Saya mencoba membuat catatan dari tiga buku yang belum semuanya kelar dibaca dan menarik benang merahnya dari peristiwa gaduh ini.

Memang rasanya apa kaitannya ketiga buku ini dengan persoalan pendidikan dan kegaduhannya ? Tapi saya meyakini bahwa semua yang ada ini saling terkait bergantung kepada kemampuan kita menarik makna tersiratnya. Pada buku pertama para pembentuk peradaban Islam seribu tahun pertama dari judul aslinya islamic civilazation in thirty lives the firs 1000 years yang ditulis oleh sejarawan Chase F Robinson, saya mendapatkan satu kalimat kunci tentang bangkit dan jatuhnya peradaban. Beliau menggambarkan jatuh bangunnya peradaban Islam dimulai abad ke 7, zaman kenabian sampai dengan abad ke 15 zaman keemasan imperium Ustmani dibawah kekuasaan Sultan Mahmud II.

Islam yang sudah dianggap sebagai agama kebaikanpun ternyata bisa jatuh. Chase F Robinson menggambarkan dengan baik bagaimana perilaku perilaku yang menyebabkan kejayaan dan kejatuhan.

Buku kedua, merupakan desertasi dari Dr. Abdul Azis, MA yang kemudian ditulis menjadi sebuah buku dengan judul Chiefdom Madinnah. Dalam buku ini diceritakan bagaimana perilaku kekuasaan di zaman awal awal Islam dengan mengambil contoh kepemimpinan Rasulullah di Madinah. Bagaimana Nabi mengatur masyarakat nya yang plural yang terdiri dari Kaum Muhajjiin, Anshor, Yahudi dan Nasrani. Melalui dokumen sejarah Piagam Madinnah tergambarkan kemampuan Nabi menggerakkan mereka semua dengan satu kalimat kunci menghargai, mengapresiasi dan melindungi. Semua yang ada selama mengikuti aturan yang ada, maka semuanya dijamin akan mendapatkan keamanan. Penulis menggambarkan bahwa pengorganisasian kekuasaan pada masa itu mampu menyerap banyak elemen sosial budaya setempat, bersifat sementara dan selalu akan menerima perubahan menuju kearah yang baik dan diridhoi Allah. Dalam kekuasaan yang dijalankan Nabi saat itu, ada kalanya Nabi melakukannya sebagai seorang Rasul dan ada kalanya dilakukan sebagai kepala negara. Tapi keduanya tetap diarahkan untuk membangun kebaikan dan kebersamaan serta keadilan.

Dibuku ketiga, Agama untuk peradaban, menumbuhkan etos agama dalam kehidupan, Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa agama harus diterjemahkan dalam bentuk perilaku yang melahirkan peradaban. Agama harus menjadi sumber inspirasi, fondasi, etos dan nilai yang menjaga keberlangsungan peradaban. Melalui kumpulan tulisannya ini, Komarudin berharap fungsi dan peran agama dijadikan landasan meredakan nilai nilai sosial, politik dan pendidikan mutakhir. Agama dibumikan menjadi daya penggerak, pendorong dan elan vital kemajuan. Agama tetap menjadi Suluh peradaban yang diwujudkan dalam perilaku warganegara.

Nah kembali pada pertanyaan adakah faktor tersirat yang menyebabkan kegaduhan ini ? Nampaknya penyebabnya lebih pada ketidakmampuan Mas Menteri memperlakukan organisasi penggerak mitra. NU dan Muhammadiyah yang sudah berkiprah sebelum lahirnya republik ini ternyata diperlakukan sama sebagai pelaksana program bukan sebagai mitra penyusun dan penggerak program. Kemampuan menghargai dan mengapresiasi Mas Nadiem nampaknya lemah  dalam berkolaborasi dengan mitra mitra strategisnya. Mas Nadiem masih bergaya ketika beliau mengelola Gojek sebagai perusahaan. Seolah bahwa siapapun yang tidak sejalan, dipersilahkan untuk mundur.

Nah disini ada persoalan adab, etika dan perilaku bagaimana memperlakukan orang lain, sebagai orang beragama tentu kita meyakini agama mengajarkan kesalehan perilaku dan bagaimana kita membumikannya dalam sikap bersosial dan bermasyarakat.

NU, Muhammadiyah dan PGRI adalah organisasi penggerak yang sudah kenyang pengalaman pendidikan, sehingga tak bisa diperlakukan seperti itu. Mereka punya banyak gagasan baik dan brilliant dalam memajukan pendidikan.

Tentu kita tak berharap niat baik Mas Nadiem ini kemudian terhenti hanya karena lemahnya Mas Nadiem memperlakukan dan mengapresiasi organisasi mitra. Mas Nadiem boleh meyakini tentang masa depan dan melupakan masa lalu, tapi yakinlah bahwa tidak ada masa depan yang dibangun tanpa melibatkan fondasi masa lalu.

Akhirnya kita tidak ingin pula mundurnya organisasi mitra yang sudah kenyang asam garam pergerakan lalu mereka tidak bergerak, kerendahan hati Mas Nadiem untuk belajar dan mendengarkan suara organisasi mitra seperti NU, Muhammadiyah dan PGRI sangat diharapkan saat ini. Jangan melihat NU, Muhammadiyah dan PGRI sebagai masa lalu yang kemudian tak dilihat. Ketiganya adalah masa lalu dan sekaligus masa depan pendidikan Indonesia.

"Jangan sampai kegaduhan ini menyebabkan matinya sang penggerak".
Surabaya, 26juli2020.
 (C San/ Isa A)

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama