Jawapes Bangkalan - Polres Bangkalan diduga memberikan keterangan palsu terkait penanganan kasus dugaan malpraktik yang mengakibatkan kepala bayi terputus dari badan saat proses persalinan normal di Puskesmas Kedungdung, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan. Kasus tragis ini terjadi pada April 2024 dan hingga kini, lebih dari satu tahun berlalu, belum ada kejelasan hukum. Kinerja Satreskrim Polres Bangkalan pun kembali dipertanyakan publik.
Laporan resmi telah diajukan oleh keluarga korban sejak 4 Mei 2024, namun hingga 2 Juni 2025, penyidik Polres Bangkalan hanya memberikan dua Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), yaitu pada 10 Juni 2024 dan 10 Mei 2025. Setelah adanya surat klarifikasi dari LSM Laskar Pemberdayaan dan Peduli Rakyat (LASBANDRA), barulah Polres Bangkalan mengeluarkan surat perintah penyidikan baru.
Dalam audiensi yang digelar pada 2 Juni 2025 di Mapolres Bangkalan, pihak kepolisian yang diwakili oleh Kasat Reskrim AKP Hafid Dian Maulidi, S.H, Kanit Pidum Ipda Nur Cahyo beserta anggota lainnya, menyampaikan bahwa mereka telah mengirimkan empat SP2HP kepada pelapor. “Polres Bangkalan sudah mengeluarkan mengirim empat SP2HP ke pelapor,” jelasnya dari pihak penyidik, Senin (2/6/2025).
Namun, ketika diminta menunjukkan bukti empat SP2HP tersebut, pihak Polres Bangkalan tampak kebingungan dan mengalihkan topik pembicaraan. Mereka tetap bersikeras merasa telah bekerja secara profesional, meskipun juga mengakui bahwa kinerja anggotanya dalam menangani kasus ini berjalan lamban.
Pernyataan dari Kasat Reskrim itu langsung dibantah oleh Suhaili, salah satu pihak keluarga korban yang sejak awal aktif mengawal kasus malpraktik bayi tersebut.
“Kalau memang ada empat SP2HP sudah dikeluarkan, tunjukkan sekarang pada kami siapa yang menerima dan kapan dikirim. Jangan bohongi kami. Ini bentuk manipulasi informasi dan pembodohan publik, yang sangat menyesatkan,” tegas Suhaili.
Di lokasi yang sama, Barry Dwi Pranata, SH., selaku penasihat hukum korban dari kantor Trunojoyo Law Firm, menyayangkan lambannya proses hukum atas kasus yang jelas-jelas memakan korban jiwa. Ia mempertanyakan alasan penyidik yang baru mengirim surat rekomendasi ke Majelis Disiplin Profesi (MDP) pada 9 Mei 2025, padahal kasus sudah bergulir lebih dari setahun.
“Jadi selama setahun lebih tidak ada langkah apapun dari penyidik,” herannya.
Ia juga menyoroti dasar hukum yang digunakan oleh penyidik, yakni Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, yang menurutnya tidak mewajibkan penyidik menunggu rekomendasi MDP. “Dalam UU tersebut tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk meminta rekomendasi dari MDP,” keluh Barry.
Berdasarkan hasil audiensi tersebut, publik menilai kinerja penyidik Polres Bangkalan hanya seolah-olah ingin menunjukkan profesionalisme, padahal justru mengulur waktu dan terkesan ingin menghentikan kasus ini. Dugaan manipulasi, keterangan palsu, serta upaya menyesatkan publik oleh aparat penegak hukum menjadi sorotan tajam dalam kasus dugaan malpraktik kepala bayi terputus ini. (Tim/Fai)
View
Posting Komentar