Jawapes Surabaya,- Polrestabes Surabaya baru saja merilis hasil operasi narkoba yang dilakukan sepanjang November hingga Desember 2024. Sebanyak 323 tersangka dari 236 kasus berhasil diamankan, dengan barang bukti mencakup 2,47 kg sabu, 10.850 gram ganja, dan 10.323 butir ekstasi. Angka ini cukup besar, bahkan dalam salah satu pengungkapan terbesar pada 27 Desember, polisi berhasil menggagalkan peredaran 498 kg narkoba dari jaringan lintas provinsi.
Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Dr. Luthfie Sulistiawan, menegaskan komitmen jajarannya untuk terus memberantas peredaran narkoba di Kota Pahlawan. Namun, di balik keberhasilan ini, muncul pertanyaan penting: apakah angka ini benar-benar mencerminkan keberhasilan, atau justru menjadi alarm bahaya bahwa peredaran narkoba di Surabaya masih sangat masif?
Tidak bisa dimungkiri, pengungkapan kasus ini adalah pencapaian besar. Jumlah narkoba yang disita menunjukkan betapa besarnya ancaman narkoba di Surabaya. Jika benar perhitungan bahwa barang bukti yang diamankan bisa menyelamatkan sekitar 61.200 jiwa dari bahaya penyalahgunaan narkoba, maka ini jelas merupakan langkah positif dalam upaya pemberantasan.
Selain itu, apresiasi juga patut diberikan kepada masyarakat yang berani melaporkan informasi terkait peredaran narkoba. Fakta bahwa informasi dari warga berperan dalam menggagalkan pengiriman 498 kg narkoba menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap bahaya narkotika semakin meningkat.
Namun, ada beberapa hal yang patut dikritisi. Salah satunya adalah fakta bahwa 30% dari tersangka yang diamankan merupakan residivis—orang yang sebelumnya telah dihukum atas kasus narkoba tetapi kembali terlibat. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah sistem hukuman yang ada saat ini cukup memberikan efek jera? Ataukah ada celah dalam sistem rehabilitasi yang membuat mantan pengguna atau pengedar mudah kembali ke dunia narkoba?
Fenomena residivis ini mengindikasikan bahwa pemberantasan narkoba tidak bisa hanya mengandalkan penangkapan dan hukuman pidana. Harus ada pendekatan lain, seperti penguatan program rehabilitasi, pemantauan eks-narapidana, serta peningkatan upaya pencegahan di kalangan anak muda agar tidak terjerumus ke dalam lingkaran narkoba sejak awal.
Selain itu, meskipun banyak tersangka yang ditangkap, belum ada indikasi bahwa jaringan besar benar-benar terputus. Dalam berbagai kasus narkoba di Indonesia, sering kali yang tertangkap adalah kurir atau bandar kecil, sementara aktor intelektual yang mengendalikan jaringan masih bebas berkeliaran. Ini yang harus menjadi perhatian serius. Apakah operasi ini benar-benar berhasil membongkar jaringan hingga ke akar, atau hanya menangkap "pemain kecil" dalam rantai distribusi narkoba?
Pemberantasan Narkoba Butuh Pendekatan Lebih Luas
Keberhasilan Polrestabes Surabaya dalam operasi ini memang layak diapresiasi, tetapi perlu diingat bahwa perang melawan narkoba bukan hanya soal penangkapan dan penyitaan barang bukti. Ada tantangan besar yang harus diselesaikan, mulai dari efektivitas sistem peradilan hingga strategi pencegahan jangka panjang.
Jika pemberantasan narkoba hanya dilakukan dengan pola "tangkap dan penjarakan," maka bukan tidak mungkin kita akan melihat operasi serupa lagi tahun depan—dengan angka kasus yang tetap tinggi dan jumlah residivis yang terus bertambah. Perlu pendekatan lebih menyeluruh yang tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pencegahan, rehabilitasi, dan pemutusan jaringan peredaran di tingkat yang lebih tinggi.
Surabaya, sebagai kota besar dengan pergerakan ekonomi yang tinggi, tentu menjadi target empuk bagi para pengedar narkoba. Oleh karena itu, selain upaya kepolisian, perlu keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, untuk benar-benar menekan angka peredaran narkoba.
Jika tidak, operasi besar seperti ini hanya akan menjadi siklus tahunan—dengan cerita yang berulang tanpa solusi nyata.
(Rd82)
Pembaca
Posting Komentar