Memasuki Sidang Kedua, Terdakwa Penipuan Janjikan Keuntungan Rp40 Miliar Terhadap Korban

Terdakwa Kristin Halim saat mengikuti sidang kasus dugaan penipuan dan atau penggelepan Rp7 miliar di dalam Rutan Situbondo

Jawapes, SITUBONDO - Kasus dugaan penipuan dan atau penggelapan senilai Rp7 miliar memasuki sidang kedua di Pengadilan Negeri (PN) Situbondo, Rabu (6/9/2023).


Kali ini agendanya mendengarkan keterangan sejumlah saksi. Sebenarnya ada tujuh saksi yang dipanggil oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun hanya enam orang yang hadir. Satu saksi tidak bisa datang. Di depan persidangan, saksi korban penipuan dan atau penggelapan Andre menyampaikan asal mula memulai bisnis usaha pertambangan dengan terdakwa Kristin Halim.


"Awal tahun 2014, Kristin Halim datang ke losmen di Jalan Basuki Rahmad Situbondo, dan menemui papa saya, Candra Hari. Kristin Halim bertanya tanah. Papa saya jawab ada,” terang Andre.


Berikutnya, Kristin Halim menawarkan jika tanah gunung yang berlokasi di Desa Klampokan, Kecamatan Kapongan bakal dibuatkan izin tambang. Kristin Halim juga menyampaikan keuntungan dari usaha pertambangan. 


“Kristin Halim mengaku ingin mengurusi semua perizinannya. Izin yang bakal dibuat ada tiga. Saat ingin membuat izin, Kristin Halim juga mengaku sudah memiliki perusahaan PT. Prima Mitra Nusantara,” ucap Andre.


Untuk melancarkan aksinya, Kristin Halim sempat mengundang Andre dan Candra Hari datang ke Surabaya. Terdakwa menemui keduanya di sebuah gedung yang dianggap kantor. Tapi Andre tidak tahu apakah kantor tersebut milik Kristin atau bukan. “Pertemuan saya dengan Kristin Halim membicarakan perizinan mengerjakan tambang. Izinnya ada tiga, yaitu IUP Sporasi, dan OB. Untuk ngurus suratnya di Surabaya. Sedangkan untuk buat tiga surat itu butuh biaya Rp250 juta,” ungkapnya.


Lebih lanjut, Andre juga menyampaikan, perbincangan masalah keuntungan yang ditawarkan terdakwa. Dalam tiga hektare tanah saja, Kristin Halim menyebutkan bisa mendapat keuntungan hingga Rp40 miliar sekian. Setelah surat izin selesai, usaha pertambangan hanya berjalan kurang lebih empat bulan. Berikutnya pertambangan diberhentikan akibat rugi.


"Ini pekerjaan kok rugi, jadi pertambangan diberhentikan. Akhirnya kami stop dan dievalusi. Apalagi sewa alat berat saat itu mahal sekali,” katanya.


Andre menjelaskan, pekerjaan tambang dikontrol langsung oleh Kristin Halim. Namun, dia tidak pernah berkoordinasi dengan pihaknya.


"Semuanya diatur oleh Kristin Halim, tapi dia tidak mau berkoordinasi dengan saya," kata Andre.


Tahun 2020, Andre merasa curiga dan menganggap ada yang tidak beres dalam perjalanan bisnisnya. Dia mencoba untuk membuka kembali usaha pertambangan yang ditutup dan kembali berkoordinasi dengan Kristin Halim.


"Saat saya mau buka tambang lagi, harus membayar denda. Kristin Halim minta Rp500 juta. Kok kemahalan, saya hanya punya Rp 150 juta, dan akhirnya saya dimintai Rp250 juta. Saat ditanya pada perizinan ternyata tidak ada biaya hingga Rp500 juta,” ucap Andre.


Pantauan awak media, sidang tersebut ditunda akibat waktu yang tidak mendukung. Sebab, persidangan yang dimulai pukul 14.17 baru berakhir pukul 15.40. Sedangkan lima saksi yang lain ditunda pekan mendatang (14/9/2023).


Sementara itu, terdakwa Kristin Halim mengikuti persidangan secara online. Dia juga tidak keberatan dengan keterangan yang disampaikan oleh saksi Andre. (Fin/Hum)


Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama