![]() |
Ir. Prihandoyo Kuswanto Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila. |
Tapi lebih jauh telah menghilangkan Pancasila sebagai “meja statis” dan “leitstar dinamis”.
Mari kita ikuti cuplikan “Kursus Pancasila Bung Karno di Istana Negara” tanggal 16 Juni 1958 berikut ini.
“…Nah, ini yang menjadi pertimbangan dari pemimpin-pemimpin kita dalam tahun 1945, dan sebagai tadi saya katakan, sesudah bicara-bicara, akhirnya pada satu hari saya mengusulkan Pancasila.
Pancasila itu diterima masuk dalam Djakarta Charter, masuk dalam sidang pertama sesudah proklamasi. Jadi kalau saudara ingin mengerti Pancasila, lebih dulu harus mengerti ini: meja statis, leitstar dinamis.
Kecuali itu kita sekarang lantas masuk kepada persoalan elemen-elemen apa yang harus dimasukkan di dalam meja statis atau leitstar dinamis ini.
Kenapa Pancasila? Mungkin Dasasila, atau Catursila, atau Trisila atau Saptasila.
Kenapa justru lima ini? Bukan kok lima jumlahnya, tetapi justru Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial.
Kenapa tidak tambah lagi, atau dikurangi lagi beberapa. Kenapa justru kok lima macam ini?
Saudara-saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan jika kita mencari suatu leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri.
Sudah jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus terdiri daripada elemen-elemen yang ada pada jiwa Indonesia.
Kalau kita mau masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam jiwa Indonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.
Misalnya kalau kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika. Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak “in concordantie” dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan.
Demikian pula elemen-elemen untuk dijadikan leitstar dinamis harus elemen-elemen yang betul-betul menghikmati jiwa kita. Yang betul-betul, bahasa Inggrisnya “appeal” kepada jiwa kita.
Kalau kita kasih leitstar yang tidak “appeal” kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita sendiri, ya tidak bisa menjadi leitstar dinamis yang menarik kepada kita…”
Para pembaca, dari cuplikan kuliah Bung Karno tadi kita bisa memahami ternyata Pancasila bukan hanya sekadar dasar negara lebih jauh lagi Pancasila adalah alat untuk menyatukan bangsa Indonesia.
Pancasila adalah jiwa masyarakat yang sedalam-dalamnya, jiwa Indonesia.
Oleh sebab itu Pancasila jelas bukan beraliran Individualisme. Jiwa Indonesia bukan Liberalisme dan Kapitalisme.
Rupanya para pengamandemen UUD 1945 tidak memahami dasar negara, tidak memahami Pancasila sebagai “Meja Statis” dan “Leitstar Dinamis”. Sehingga dengan sengaja mencangkokan pikiran Barat Individualisme dan Liberalisme serta Kapitalisme di dalam UUD 2002 hasil amandemen.
Ini adalah penghancuran jati diri bangsa Indonesia dengan cara mencangkokan pikiran Barat pada Pancasila.
Jiwa Indonesia adalah jiwa Pancasila. Jiwa Pancasila bukan pertarungan banyak-banyakan suara, kalah menang, kuat-kuatan Pilkada, Pilpres dan Pileg.
Jiwa Pancasila adalah jiwa Indonesia, jiwa gotong royong, jiwa tolong menolong, jiwa kebersamaan. “Onok rembuk yo dirembuk” musyawarah mufakat, berat sama diangkat ringan sama dijinjing.
Sejak Amandemen UUD 1945 jiwa keindonesiaan kita telah dikubur, telah terjadi kepalsuan-kepalsuan.
Pencitraan adalah baju asing dan bukan jiwa Indonesia. Presidensil adalah baju asing yang berbasis Individualisme, bukan gotong royong. Jiwa Indonesia adalah sistem sendiri yang disebut sistem MPR.
Untuk menyelamatkan negara bangsa ini tidak ada jalan lain selain kita mengembalikan “Meja Statis” dan “Leitstar dinamis” yang sudah menjadi kesepakatan pendiri negeri yaitu Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi serta dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Proklamasikan 17 Agustus 1945. Indonesia dalam lintasan sejarahnya bangsanya dulu dilahirkan baru negaranya dibentuk.
Indonesia merdeka dasarnya Pancasila. Jadi kalau negara tidak didasarkan pada Pancasila bisa dipastikan bukan Indonesia yang di proklamasikan 17 Agustus 1945.
Bung Karno mengatakan Pancasila itu lima prinsip dalam berbangsa dan bernegara.
Kita mempunyai proclamation of independence dan declaration of independence sekaligus. Proklamasi kita memberikan tahu kepada kita sendiri dan kepada seluruh dunia. Bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang merdeka.
Declaration of independence kita, yaitu terlukis dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia apa prinsip-prinsip kita itu. (pidato Soekarno).
Sadar atau tidak sadar amandemen UUD 1945 adalah membubarkan negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Mengapa? Sebab pendiri negeri ini sudah membentuk negara berdasarkan Pancasila sesuai dengan Alinea ke-4 UUD 1945 mempunyai prinsip sendiri yang mengikat bangsa Indonesia.
Amandemen UUD 1945 justru mengkhianati prinsip -prinsip yang sudah menjadi konsesnsus nasional yang di urai didalam UUD 1945 dan Pembukaannya.
Sistem negara berdasarkan Pancasila ada tiga ciri yang tidak di punyai oleh sistem Presidenseil, Parlementer atau kerajaan sekalipun, yaitu :
1.Adanya lembaga tertinggi negara yang di sebut MPR.
2.Adanya politik rakyat yang di sebut GBHN.
3.Presiden adalah Mandataris MPR .
Ketiga ciri ini sudah tidak ada artinya negara ini sudah tidak berdasarkan Pancasila.
Rupanya para pengamandemen tidak memahami prinsip-prinsip negara yang diproklamasikan. Sadar atau tidak sadar, sesungguhnya Amandemen telah membubarkan negara yang diproklamasihkan pada 17 Agustus 1945. Sebab Amandemen telah merubah prinsip-prinsip negara. Sehingga Pancasila tidak menjadi prinsip bernegara dengan dimasukkannya prinsip Individualisme pada pasal 28.
Berdasarkan kepada ide-ide yang dikemukakan oleh berbagai anggota dalam kedua sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu tersusunlah Pembukaan UUD 1945, di mana tertera lima azas Kehidupan Bangsa Indonesia yang terkenal sebagai Pancasila. Berbangsa dan bernegara.
Pembukaan UUD 1945 itu adalah pokok pangkal dari perumusan pasal-pasal berturut-turut dalam 16 (enambelas) Bab, 37 pasal saja ditambah dengan Aturan Peralihan, terdiri dari 4 (empat) pasal dan Aturan Tambahan, berhubung dengan masih berkecamuknya Perang Pasifik atau pada waktu itu disebut Perang Asia Timur Raya.
Karena telah tercapai mufakat bahwa UUD 1945 didasarkan atas sistim kekeluargaan, maka segala pasal-pasal itu diselaraskan dengan sistim itu. Negara Indonesia bersifat kekeluargaan, tidak saja hidup kekeluargaan ke dalam, akan tetapi juga keluar. Sehingga politik luar Negeri Indonesia harus ditujukan kepada melaksanakan ketertiban dunia. Berdasarkan kemerdekaan segala bangsa, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi segala bangsa.
Tugas Pemerintahan ke dalam negeri, berdasarkan Pancasila yang menjadi ideologi negara ialah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikma kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat indonesia
Kelima asas itu menjadi dasar dan tujuan pembangunan negara dan manusia Indonesia. Telah diutarakan di atas bahwa pada umumnya manusia Indonesia telah memiliki sifat-sifat yang melekat pada dirinya. Sebagai ciptaan kebudayaan dan peradaban Indonesia dalam perkembangannya sejak dahulu kala sampai sekarang.
Maka tugas pemerintah ialah terutama mengawasi agar ideologi negara dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh seluruh Bangsa Indonesia.
Karena Pancasila adalah Lima Asas yang merupakan ideologi negara, maka kelima sila itu merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan antara lima asas itu erat sekali, kait-mengkait, berangkaian tidak berdiri sendiri.
Setiap warganegara Indonesia yang sadar akan ideologi negara harus dengan aktif mengambil bagian dan ikut serta dalam pembangunan susunan negaranya dan janganlah pembangunan itu melulu manjadi urusan pemerintah belaka, yang terjadi jauh dari minat para warganegara…….” ( cuplikan dari panitya lima Hatta)
Bung Karno dalam pidato di BPUPKI Rapat besar pada tanggal 15-7-2605 dibuka Jam 10.20 mengatakan (cuplikan)
” Maka oleh karena itu jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong, faham keadilan sosial, enyakanlah tiap-tiap pikiran,tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya. “
Jadi mengapa pendiri negeri ini anti terhadap individualisme, liberalisme, kapitalisme. Sebab semua itu sumber dari kolonialisme imperalisme, yang menjadi perjuangan bangsa ini untuk melawannya dengan mengorbankan harta darah, dan nyawa.
Individualisme, liberalisme, kapitalisme juga oleh pendiri negeri ini dianggap sistem yang salah. Sebab telah mengakibatkan kesengsaraan manusia di muka bumi akibat perang dunia ke satu dan perang dunia kedua. Maka dari itu bangsa ini harus menggugat terhadap amandemen UUD 1945 yang justru bertentangan dengan dasar negara Pancasila. Akibat sistem ketatanegaraan kita tidak sesuai dengan Pancasila dan pembukaan UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 dikatakan negara ini berdasarkan Pancasila, tetapi isi UUD hasil amandemennya liberalisme, kapitalisme. Kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kalah menang, kuat-kuatan, pertarungan. Bertolak belakang dengan kekeluargaan, kebersamaan, tolong-menolong, gotong royong, musyawarah, Pancasila.
Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan negara bangsa ini. Kecuali kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945 dan kemudian oleh Presiden Soekarno diberlakukan kembali dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sadar dan bersatulah Mahasiswa tuntut kembali ke UUD1945 melalui Sidang Istimewah MPR kalau ingin menyelamatkan negara Indonesia.
(CSan/Prih).
View
Posting Komentar