Pertolongan Pertama Psikologis Korban Pelecehan Seksual Yang Meningkat di Masa Pandemi


Jawapes, Cilacap - Selama masa pandemi Covid-19, kasus pelecehan seksual jumlahnya cukup tinggi. Bahkan baru-baru ini kasus tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan santer diberitakan, seperti terjadi kasus pelecehan seksual yang dialami oleh Mahasiswa Novi Widyasari kembali mengagetkan publik, bahwa Guru disebuah Pesantren Daerah Bandung Jawa Barat telah melakukan pelecehan seksual pada 12 Santriwati. 

Berdasarkan data Komnas Perlindungan perempuan dan anak di masa Pandemi, ditemukan 2.726 kasus kekerasan sejak Maret 2020 hingga Juli 2021 dan 52 persennya didominasi oleh kejahatan seksual. Pandemi covid-19 memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan dan juga politik. Dampak yang signifikan jika terjadi pada kehidupan anak dan keluarganya. Peningkatan kasus kekerasan seksual juga dapat terjadi di dunia maya selama pandemi, yang diakibatkan oleh peralihan aktivitas masyarakat menjadi aktivitas di dalam jaringan (Daring), seperti sekolah daring maupun pekerjaan daring sehingga konten-konten yang berbau pornografi di media sosial juga dapat memicu perilaku yang mengarah pada pelecehan seksual. Hal inipun menjadi pertanyaan, apakah hanya jika korban sampai sakit fisik, cacat dan meninggal dunia, baru kasus-kasus kekerasan seksual ditangani ?. Padahal dampak psikologis trauma yang dialami korban jarang diperhitungkan. "Korban harus membawa masalah kejiwaan dan mental itu sepanjang hidupnya jika tidak ditangani. Biasanya, korban menanggung semuanya sendiri, termasuk biaya pemulihan yang bisa berlangsung bertahun-tahun". Dampak Psikologis pada anak tersebut harus bisa kita tangani sedini mungkin dengan upaya Psycological Firt Aid atau yang biasa disebut dengan PFA, merupakan pertolongan pertama psikologis yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Dengan tujuan untuk membuat korban merasa lebih aman dan mengurangi kemungkinan munculnya gangguan psikologis sedang maupun berat, karena tidak sedikit pelecehan kekerasan seksual justru disalahkan dari bagaimana penampilannya dan tak jarang kita mengabaikan kondisi psikisnya. 

Adapun cara yang dapat dilakukan oleh kita sebagai orang awam, apabila bertemu dengan seseorang yang baru saja menjadi korban kekerasan seksual sesuai dengan cara PFA, dimana ada tiga (3) prinsip utama dalam PFA yang harus dipahami, yaitu ;

1. Lihat (Look) :
Melihat dengan seksama apa yang dibutuhkan pertama oleh korban. Semisal saat ditempat umum, kemudian ada orang yang diduga sebagai korban kekerasan seksual berlari ke arah kita. Kita dapat melihat dahulu bagaimana kondisinya atau keamanannya, apakah dirinya sedang dikejar-kejar oleh orang yang dianggap pelaku, lalu melihat dan mencari tempat yang aman bagi kita dan korban tersebut. Apabila perlu diberikan minum agar lebih tenang, itu juga dapat dilakukan.
2. Dengar (Listen) :
Membuat komunikasi dan dengarkan keluhan korban memperkenalkan diri dan berkomunikasi yang tenang agar korban juga merasa tenang, dengarkan semua keluhnya lalu tanyakan apa yang bisa kita bantu pada dirinya.
3. Jaringan (Link) :
Membantu orang untuk menemukan tempat yang dapat memberikan layanan kebutuhan dasar dan akses pelayanan pada kasus kekerasan seksual, maka kita bisa membantu mengarahkan korban untuk melaporkan kejadiannya pada pihak yang berwajib sesuai dengan lokasi dimana korban mendapatkan kekerasan. Apabila korban merasa bahwa dirinya tidak aman, maka kita bisa menghubungkan korban peda keluarganya maupun lembaga perlindungan perempuan dan anak. Apabila korban dirasa memberikan reaksi yang tidak dapat kita tangani sendiri, maka segera antarkan yang bersangkutan untuk mendapatkan layanan yang diberikan oleh ahli, seperti psikolog atau psikiatri. 

Kecepatan dan ketepatan kita dalam menanggapi suatu kasus kekerasan seksual akan membantu korban untuk mengantisipasi dampak lanjutan dari kekerasan seksual yang dialami. Ingat bahwa apa yang kita lakukan dalam pertolongan pertama psikologis atau Psycological Firt Aid adalah sukarela dan tidak memaksakan apa yang kita yakini untuk diyakini juga oleh korban. Pastikan untuk menggunakan kalimat yang menenangkan agar kita tidak menjadi pelaku selanjutnya terhadap kondisi psikis korban. Psycological Firt Aid bukan "Psycological Debriefing" sehingga tidak perlu berlatarbelakang psiko sosial untuk melakukannya.

Identitas Penulis,
Nama        : Luluatul Choeriyah.
Pekerjaan : Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Alamat     : Kedungbenda RT.03/RW.04, Nusawungu, Cilacap.
No. WA    : 08818593791
E-mail      : luluchoeriyah254@gmail.com

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama