Ingin Kembali ke GBHN Artinya Kembali Ke Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi


Oleh Ir. Prihandoyo  Kuswanto
       

Jawapes Surabaya - Buat para pejuang yang ingin Kembali pada Pancasila dan UUD 1945 , pernyataan Megawati Soekarno Putri sebagai Pemilik Partai belambang Kepala Banteng bermoncong putih , menjadi sebuah pertanyaan besar yang bergelayut di kepala kita , apakah GBHN itu hanya sebuah rencana pembangunan saja ? atau GBHN adalah sebuah satu kesatuan dengan sistem Negara berdasar pada Pancasila , tentunya kekritisan kita akan semakin tajam mana kala kita bisa mengurai sistem negara Pancasila dengan MPR sebagai lembaga bangsa , lembaga Kedaulatan yang tertinggi .

PDIP mendorong agar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihidupkan kembali dengan nama baru yaitu Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Apa sebenarnya yang dikejar Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan memunculkan usulan yang langsung disambut baik semua pihak ini?
Bahkan Megawati Soekarno Putri mengatakan "Ganti pemimpin, ganti visi. Lama-lama saya berpikir Indonesia senang dansa. Kapan benar 5 tahun, dia maju. Kapan kurang bener, dia mundur lagi," kata Mega.
"Maju mundur seperti tangan saya mungkin masih baik. Tapi maju 1 langkah seperti poco-poco, lalu mundur 10 langkah. Itukah yang Indonesia inginkan?" sambungnya retoris.

Keinginan Mega ini ternyata disambut oleh Presiden Joko Widodo yang juga hadir di pembukaan Rakernas.  Menurut Jokowi gagasan Mega soal Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana berisi rencana-rencana dan cita-cita besar Indonesia.
"Apa yang akan kita kerjakan 10 tahun, 25, 50 tahun mendatang, dan apa mimpi-mimpi dan rencana-rencana besar kita 100 tahun yang akan datang sudah harus mulai dirancang," kata Jokowi di tempat yang sama.

"Sehingga semua harus punya panduan, negara ini harus punya haluan ke mana negara ini akan dibawa. Oleh sebab itu pembangunan nasional semesta berencana menjadi pekerjaan rumah kita dalam mengarungi pembangunan 5, 10, 25, 50, 100 tahun ke depan agar arah pembangunannya jelas," tambahnya. 
"Itu bagus sekali, kita apresiasi apa yang dirumuskan dalam Rakornas PDIP. PDIP kan juga partai pemenang Pemilu tentu juga memberi pengaruh besar terhadap pengaruh politik Tanah Air," tutur Ketua MPR Zulkifli Hasan.

Sementara itu, DPD bahkan mendesak agar amandemen UUD 1945 segera dilakukan tahun ini. Amandemen ini memang dibutuhkan apabila ingin menghidupkan lagi GBHN. 
"Kita harus melakukannya di 2016. MPR harus bersidang, selama dua periode ini MPR belum pernah sidang bersama DPD dan DPR," kata Wakil Ketua DPD GKR Hemas dalam jumpa pers di Gedung Parlemen Pusat, Senayan, Jakarta, Selasa (12/1/2016)

Bagi kita yang mengerti apa itu GBHN adalah sebuah sistem politik nya rakyat yang tidak terpisah dengan sistem MPR , MPR adalah lembaga Kedaulatan Tertinggi disanalah berhimpun seluruh elemen negara bangsa , kemudian rakyat melalui utusan-utusan nya merumuskan politik rakyat .Megawati Soekarno Putri maupun Djoko Widodo rupanya belum paham apa itu GBHN dengan sistem MPR nya yang telah digagas dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa negeri ini .

Sistem MPR Sebagai Sistem Sendiri:
Dirubahnya Pasal 1 Ayat 2 Sama Dengan Meruntuhkan Bangunan NKRI.
Aliran pemikiran sebagaimana tersebut di dalam UUD mewujud dalam bentuk Lembaga Tertinggi Negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Negara Republik Indonesia.

Di dalam Sidang II BPUPKI, Panitia Kecil Perancang UUD, setelah mengkaji belasan konstitusi dari negara-negara merdeka dan berpengaruh di dunia, seperti Konstitusi-konstitusi USA, Inggris, Weimar (Nama sebelum menjadi Jerman), Jermania, Perancis, Belanda, Cekoslovakia, Jepang, Philipina, Uni Sovyet, Burma, dan lain-lain, BPUPKI kemudian lebih memilih sistem sendiri dalam ketata-negaraannya. Yang dikenal oleh dunia pada saat itu adalah sistem presidensial (USA) dan sistem parlementer (Inggris). Sistem presidensial ala USA, ditolak. Sistem parlementer ala Inggris juga ditolak. Panitia Kecil Perancang UUD kemudian menciptakan apa yang kemudian disebut dengan Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR ini dirancang sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia.

Sistem MPR ini diyakini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat itu sendiri, bukan kedaulatan individu. Kedaulatan rakyat di dalam keanekaragaman rakyat Indonesia yang berbhinneka, baik dalam suku, agama, dan ras, serta bahasa. Di dalam MPR ini lah seluruh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya berkumpul atau dikumpulkan (collecting) untuk melakukan permusyawaratan guna merumuskan haluan negara (GBHN), memilih dan meminta pertanggungjawaban presiden/wakil presiden, dan membuat dan merubah Undang-undang Dasar.

Kedaulatan rakyat (bukan kedaulatan individu) adalah kedaulatan rakyat dalam pengertian jamak, bukan individu. Sesuai dengan sifat sosial dari masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok, maka dengan keterwakilan dari kelompok-kelompok, golongan-golongan itulah rakyat terwakili kedaulatannya di dalam lembaga MPR. 

Karena itulah MPR di dalam ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara. 
Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR tidak bersidang setiap saat atau setiap tahun, tetapi sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. 

Ini harus dipahami mengingat MPR sebenarnya bukanlah lembaga politik, seperti Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah Agung (yudikatif), melainkan lembaga yang menjadi sumber dari kekuasaan dan kedaulatan bagi lembaga-lembaga di bawah MPR (representasi kedaulatan rakyat).

Lembaga-lembaga di bawah MPR adalah lembaga-lembaga tinggi negara yang bekerja setiap hari dan setiap saat sesuai dengan haluan negara yang telah ditentukan dan diamanahkan kepada lembaga-lembaga negara tersebut.  

Sebagai lembaga yang menjadi perwujudan seluruh rakyat Indonesia, MPR disusun dengan keanggotaan terdiri dari Anggota DPR, Utusan-utusan Daerah, dan Utusan-utusan Golongan. Oleh karena itu, Anggota MPR akan menjadi sangat besar, sehingga MPR tidak perlu bersidang setiap saat. MPR bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. 

Oleh karena itu, menjadi menarik mencermati penggunaan istilah “Utusan-utusan” dalam susunan Anggota MPR. Utusan-utusan ini maksudnya adalah bahwa ‘utusan-utusan’ tersebut datang ke Jakarta hanya ketika bersidang setiap sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun sesuai dengan ketentuan UUD, atau ketika situasi dalam kondisi tertentu sehingga Pimpinan MPR memanggil anggota MPR untuk bersidang. 

Jadi, setelah Sidang 5 tahunan itu selesai, utusan-utusan daerah dan utusan-utusan golongan ini kembali ke tempat masing-masing. Setelah itu adalah menjadi kewajiban dari lembaga-lembaga tinggi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Sidang MPR. 
Tersebut adalah gambaran bangunan dari Sistem MPR sebagai Sistem Sendiri, sebagai bentuk kreatif dari founding fathers dalam merancang bangunan ketatanegaraan Negara Republik Indonesia. 

Dengan memahami hal ini, maka ketika UUD Pasal 1 ayat 2, yang semula berbunyi, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, dan diamandemen sehingga bunyinya menjadi, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, maka saat itulah bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah runtuh. 

Dalam sistem presidensial seperti sekarang ini (versi UUD 2002) kedaulatan rakyat menjadi kabur. Kedaulatan rakyat dalam sistem presidensial (versi UUD 2002) telah diterjemahkan menjadi kedaulatan individu (dengan memilih langsung presiden dan kepala daerah). Kedaulatan rakyat dikaburkan menjadi pemilihan langsung presiden dan kepala daerah.

Sementara itu, dalam sistem presidensial ini, presiden pada dasarnya menjalankan politiknya sendiri, bukan menjalankan politik rakyat. 

Dalam sistem MPR (versi UUD 1945 Naskah Asli) kehendak rakyat yang sebenarnya, melalui wakil-wakilnya, kemudian dimusyawarahkan sehingga menjadi ‘politik rakyat’ dalam bentuk haluan negara (GBHN) yang harus dijalankan oleh mandataris (presiden yang dipilih oleh MPR). 

Jadi dalam sistem MPR ini, Presiden seharusnya tidak boleh menjalankan politiknya sendiri, melainkan harus menjalankan politik rakyat yang tertuang di dalam GBHN. Dengan sistem seperti ini, maka MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden selaku mandataris MPR jika diketahui Presiden telah melanggar atau menyimpang dari GBHN. DPR dengan sistem ini pun memiliki standar parameter dalam melakukan pengawasan (controlling) terhadap pelaksanaan GBHN oleh Presiden. 

Kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi karena kita tau sejarah nya , Undang-Undang Dasar itu adalah Undang- Undang dasar yang seperti  di ucapkan oleh Bung Karno dalam laporan pembahasan UUD pada sidang BPUPKI 

.......................” Alangkah keramatnja, toean2 dan njonja2 jang terhormat, oendang2 dasar bagi sesoeatoe bangsa. 
Tidakkah oendang2 sesoeatoe bangsa itoe biasanja didahoeloei lebih doeloe, sebeloem dia lahir, dengan pertentangan paham jang maha hebat, dengan perselisihan pendirian2 jang maha hebat, bahkan kadang2 dengan revolutie jang maha hebat, dengan pertoempahan darah jang maha hebat, sehingga sering kali sesoeatoe bangsa melahirkan dia poenja oendang2 dasar itoe dengan sesoenggoehnja di dalam laoeatan darah dan laoetan air mata.

Oleh karena itoe njatalah bahwa sesoeatoe oendang2 dasar sebenarnja adalah satoe hal jang amat keramat bagi sesoeatoe rakjat, dan djika kita poen hendak menetapkan oendang2 dasar kita, kta perloe mengingatkan kekeramatan pekerdjaan itoe. 
Dan oleh karena itoe kita beberapa hari jang laloe sadar akan pentingnja dan keramatnja pekerdjaan kita itoe. Kita beberapa hari jang laloe memohon petoendjoek kepada Allah S.W.T., mohon dipimpin Allah S.W.T., mengoetjapkan:...." Rabana, ihdinasjsiratal moestaqiem, siratal lazina anamta alaihim, ghoiril maghadoebi alaihim waladhalin. ...."

Dengan pimpinan Allah S.W.T., kita telah menentoekan bentoek daripada oendang2 dasar kita, bentoeknja negara kita, jaitoe sebagai jang tertoelis atau soedah dipoetoeskan: Indonesia Merdeka adalah satoe Republik. Maka terhoeboeng dengan itoe poen pasal 1 daripada rantjangan oendang2 dasar jang kita persembahkan ini boenjinja: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatoean jang berbentoek Republik.”.....”  

Jadi sangat yakinlah kita bahwa UUD 1945 itu dibuat bukan dengan sementara , dengan singkat , tetapi dengan ijin Allah , hal inilah yang tidak dibaca oleh pengamandemen UUD 1945 , jadi jihad mengembalikan UUD 1945 adalah sebuah keharusan bagi anak bangsa yang mencintai negeri nya .

Disinilah yang menjadi keyakinan kita sebagai pejuang untuk mengembalikan UUD 1945 Proklamasi , para politikus tidak mengerti tentang GBHN adalah bagian dari sistem MPR , maka kembali pada GBHN adalah kembali pada Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi.

(CSan/Prihd).

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama