GONJANG GANJING PANCASILA Bikin Ibu Pertiwi Bersusah Hati


           

Jawapes Surabaya - Hingga hari ini, sudah hampir tujuhpuluh lima tahun sejak dilahirkannya, Pancasila itu masih terus saja dijadikan bahan diskusi, bahan gunjingan, bahan untuk dipelajari, dan hanya sedikit upaya untuk bisa diterapkan. 
Sedikitnya ada dua lembaga yang dibentuk untuk menangani Pancasila. Di masa Orde Baru dibentuk BP-7, dan sekarang ini dibentuk BPIP. Malahan sekarang ini,

  "Pancasila mau diperas-peras lagi seperti kain pel". 

Ada yang mau memerasnya menjadi tiga dan ada yang mau menjadikannya satu sila saja. Kalau begitu kenapa tidak dari dulu saja Pancasila itu dijadikan Eka sila. 

Sebenarnya warga Indonesia itu sudah paham  mengenai Pancasila. Jadi tidak perlu lagi mereka diajari. Misalnya soal Gotong Royong itu, kan seluruh warga Indonesia paham dengan makna istilah itu, malahan sudah sering melaksanakannya terutama menjelang 17 Agustus, atau ketika pak RT memukul kentongan minta warga desa berkumpul untuk melakukan kerja bakti.

Jadi.., kalau rakyat kecil di desa dan di kota itu sudah melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Coba perhatikan, di semua ibukota kabupaten pasti ada masjid dan gereja dibangun berhadap-hadapan. Itu kan artinya penganut agama-agama tersebut di masa lalu sudah mampu saling bertoleransi. Masak sekarang kita musti diajari lagi hidup rukun antar agama. Tapi kalau ada yang mengusik ketenangan beribadah itu ya ditindak saja berdasar hukum secara adil bagi semua pihak.

Hukum yang adil itu sudah dihayati dan dipahami oleh semua bangsa kita sejak masa lalu. Semua warga masyarakat sudah mampu merasakan dan mengetahui mana hukum yang adil dan mana yang tidak adil. Tanpa perlu diajari lagi untuk memahami makna Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Tapi justru yang berkewajiban melaksanakan keadilan itulah yang agaknya  perlu ditatar lagi agar mampu bersikap dan bertindak adil.
Prikemanusiaan dan prikeadilan itu sifatnya kodrati, sudah ditanamkan oleh Yang Maha Pencipta kepada semua mahlukNya, bukan hanya manusia tapi juga kepada hewan, tumbuh-tumbuhan dll.

Kita juga ingin diperlakukan secara manusiawi oleh aparat keamanan terutama yang membawa senjata. Soalnya ngeri banget melihat warga yang berdemo mengajukan pendapatnya, dipentungi dll. Jika ingin berlaku adil maka pandanglah orang atau pihak lain itu sebagai manusia, bukan sebagai obyek.

Soal persatuan rasanya.., warga masyarakat awam tidak perlu diajari lagi.Tapi kalau sekarang katanya ada ancaman terhadap persatuan, ya bukan harus warga masyarakat awam ditatar lagi soal persatuan, tapi tindaklah secara hukum siapapun yang bermaksud merusak persatuan itu. 
Sebab yang merusak persatuan itu bisa bukan hanya warga masyarakat awam saja, tapi.. bisa juga aparat penegak hukum sendiri. Bisa pejabat pemerintah, bisa para tokoh dan orang-orang besar itu. 

Secara seksama siapa yang menjadi biang perusak persatuan bangsa. "Tindaklah tanpa pandang bulu". Jangan karena mereka punya jabatan, punya wewenang atau karena mewakili suatu golongan yang kuat lantas dibiarkan saja. 
Pembiaran seperti itulah yang merusak perasaan keadilan masyarakat dan menimbulkan ketegangan sosial yang pada gilirannya akan merusak persatuan.

Juga soal musyawarah dan mufakat. Masak masyarakat terutama di perdesaan musti diajari lagi cara bermusyawarah dan bermufakat. Sifat suka bermusyawarah dan bermufakat itu sudah ada dalam kehidupan masyarakat terutama di desa-desa. Jadi tidak perlu mereka mendapat pendidikan lagi soal itu. 

Salah satu penyebab mengapa kini musyawarah jarang terjadi mungkin adalah karena sistem politik yang berdasarkan musyawarah dan mufakat yang dulu diciptakan dan diprakarsai oleh para pendiri bangsa, sekarang diubah menjadi sistem pengambilan keputusan 50+1. (Sepertinya Musyawarah Mufakat telah di Kebiri).

Agaknya keributan terus menerus soal Pancasila itu dipicu oleh keinginan para elite golongan yang memiliki tafsir masing-masing terhadap Pancasila. Rupanya selalu ada yang curiga bahwa golongan lain ingin mengubah NKRI dan mengubah Pancasila. Makanya muncul keinginan agar Pancasila ditafsirkan kembali sesuai tafsir dari golongan yang merasa paling NKRI dan paling Pancasilais.

Sementara mereka yang pinter sibuk menafsirkan Pancasila. Rakyat yang awam siih.., tenang-tenang saja sambil setiap saat selalu menerapkan Pancasila dalam kehidupan mereka sehari-hari, tanpa ribut dan tanpa diskusi apalagi sampai mau bikin undang-undang segala.
Jadii.., kalau ribut-ribut itu tidak segera diakhiri jangan salahkan jika publik beranggapan bahwa Pancasila itu bukan filosofi bangsa kita.

Sudahlaah.., segera akhiri saja ribut-ribut soal Pancasila ini. Kembalikan saja tafsir Pancasila itu seperti rumusan yang tertuang dalam "Pembukaan UUD 1945 yang asli". Kembalikan tafsir tersebut kepada tafsiran dari para bapak pendiri negara ini, jangan mengarang sendiri. Habis waktu kita untuk meributkan Pancasila terus menerus sementara kehidupan kesejahteraan dan kemajuan bangsa kita terbengkalai. Pancasila yang sebenarnya sudah hidup dan dipraktekkan oleh warga bangsa kita pada umumnya.

Pancasila itu sudah sejak lama dihayati oleh rakyat kecil. Yang mereka tunggu adalah implementasi nilai-nilai  Pancasila oleh para pemimpin rakyat. Indikator ter implementasikannya Pancasila itu gampang dilihat.  Kalau rakyat sudah bisa tidur nyenyak, makan nikmat, punya rumah sendiri meskipun sederhana, mampu beli pakaian sederhana, dan merasa aman bepergian kemanapun, bisa ketawa lepas (wong cilik iso ngguyu) dan bisa ber Ibadah dengan khusuk.

Karena itu.., siapapun yang memegang pemerintahan segera sajalah merealisasikan impian wong cilik tersebut dan akhiri perselisihan soal  Pancasila. Capek kita melihatnya. 

Di tulis kembali.
Oleh: Slamet Santoso.
Suramadu 26juli20
 (CSan)

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama