Merdeka Ataoe Mati! Semangat 10 November yang Tak Pernah Padam

Pahlawan


Jawapes Surabaya — Pekik “Merdeka ataoe mati!” menggema di langit Surabaya pada 10 November 1945. Seruan itu bukan sekadar kata, melainkan sumpah suci rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. “Allahu Akbar!” teriakan Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk bertempur hingga titik darah penghabisan melawan pasukan sekutu.

Peristiwa heroik 10 November 1945 menegaskan Surabaya sebagai simbol keberanian rakyat Indonesia melawan penjajahan. Bung Tomo, lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920, tampil sebagai tokoh utama yang mengobarkan semangat perjuangan melalui siaran Radio Pemberontakan di Jalan Mawar 10–12. Dengan orasi yang menggugah, ia menyerukan “Merdeka ataoe mati!” dan menyalakan bara perlawanan. Sejumlah tokoh penting turut berperan, di antaranya Gubernur Suryo, Mayjen Sungkono, KH. Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, Moestopo, Soegiarto, H.R. Mohammad Mangoendiprodjo, serta Abdul Wahab Saleh yang mengabadikan momen bersejarah itu melalui kamera dokumentasinya.

Delapan dekade berlalu, semangat perjuangan itu mulai pudar. Peringatan 10 November kini kerap menjadi seremoni tanpa makna mendalam. Banyak rakyat yang merdeka secara politik, namun belum bebas secara sosial dan ekonomi. 

Aktivis pergerakan Eko Gagak menilai bangsa ini harus berani bercermin, apakah kemerdekaan sejati benar-benar telah dirasakan seluruh rakyat?

“Merdeka yang sejati bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, tapi juga dari kemiskinan, kebodohan, dan keserakahan. Ironis jika di negeri para pahlawan masih banyak rakyat hidup sengsara,” tegas Eko Gagak dalam refleksi Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025).

Ia menambahkan, kemerdekaan kini rapuh karena perilaku tamak dan korupsi yang mengakar, birokrasi berbelit, serta lemahnya penegakan hukum. “Penjajahan bentuk baru kini hadir melalui ketimpangan ekonomi dan kerakusan. Rakyat kecil seolah dijajah oleh bangsanya sendiri,” ujarnya.

Eko Gagak menegaskan, Hari Pahlawan harus menjadi momentum untuk menghidupkan kembali nilai pengorbanan dan keikhlasan. Nilai kepahlawanan bukan hanya di medan perang, tapi juga dalam keseharian ketika seseorang berani menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. “Pahlawan sejati tidak mencari nama dan balas jasa. Mereka berjuang untuk bangsa, bukan untuk kelompok. Kini semangat itu harus dihidupkan kembali,” katanya.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya dengan meneruskan perjuangan mereka melalui tindakan nyata. Di akhir refleksinya, Eko Gagak mengajak seluruh rakyat Indonesia mengheningkan cipta dan berdoa bagi para pahlawan bangsa. “Ya Allah, terimalah amal dan pengorbanan para pahlawan kami. Ampunilah dosa-dosanya dan tempatkanlah mereka di sisi-Mu bersama para syuhada. Jadikanlah kami generasi penerus yang kuat, jujur, dan amanah untuk melanjutkan perjuangan mereka,” tuturnya.

Hari Pahlawan bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan pengingat abadi bahwa kemerdekaan sejati harus terus diperjuangkan—merdeka dengan martabat, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (Gik)

Baca Juga

View

Post a Comment

Hi Please, Do not Spam in Comments

أحدث أقدم

Rizal Diansyah, ST

Pimpred Media Jawapes. WA: 0818306669

Countact Pengaduan