Jawapes Surabaya – Rencana aksi demonstrasi pada Rabu, 3 September 2025 di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya bertajuk Rakyat Jawa Timur Menggugat memicu kontroversi. Aksi ini mengangkat isu penghapusan tunggakan pajak kendaraan bermotor, dugaan korupsi dana hibah triliunan rupiah, dan pungutan liar di sekolah SMA/SMK Negeri Jawa Timur. Namun publik mempertanyakan, apakah gerakan ini murni aspirasi rakyat atau justru ada kepentingan politik yang bermain.
Latar belakang aksi bermula dari penolakan kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) di Kabupaten Pati hingga 250 persen yang sempat memicu demonstrasi besar pada Agustus 2025. Gerakan itu kemudian melebar ke Jawa Timur hingga muncul ajakan demo ke Grahadi dengan slogan “Sampai Menang.” Eko Gagak, kontributor yang mengikuti dinamika aksi, menegaskan bahwa setiap tuntutan harus berbasis data. “Kalau benar ini suara rakyat, harus ada bukti konkret. Mana hasil audit KPK atau BPK? Jangan sampai hanya sekadar narasi provokatif yang dibungkus isu rakyat kecil,” tegasnya.
Nama penggagas aksi disebut pernah maju sebagai caleg NasDem di Dapil Jatim I pada Pemilu 2024 namun kalah, sehingga muncul dugaan adanya motif politik pribadi. “Partai NasDem sudah menegaskan tetap solid mendukung Khofifah-Emil. Jadi aksi ini murni langkah pribadi, tidak ada kaitannya dengan partai,” jelas Eko. Dugaan adanya demo bayaran juga menyeruak, di mana peserta disebut menerima Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per orang, sementara aktor utama bisa mengantongi puluhan hingga ratusan juta rupiah. “Kalau memang begitu, ini bukan lagi aspirasi rakyat. Ini bisnis politik jalanan,” ujarnya.
Situasi semakin rawan setelah muncul laporan kerusuhan berupa perusakan fasilitas umum, pembakaran pos polisi hingga pembakaran Gedung Negara Grahadi. “Kalau aksi nekat digelar, sangat rawan ditunggangi kepentingan politik dan bisa memakan korban. Jangan sampai rakyat kecil jadi tameng,” kata Eko. Ia menegaskan demonstrasi memang dijamin konstitusi, tetapi tidak boleh disalahgunakan. “Demonstrasi murni itu tidak bisa dibeli dengan uang. Kalau aksi dibayar, itu sudah mencederai demokrasi,” tambahnya.
Menjelang hari pelaksanaan, sebagian pihak yang mengatasnamakan Rakyat Jawa Timur Menggugat mengumumkan pembatalan aksi dengan alasan situasi tidak kondusif. Meski begitu, publik masih bertanya-tanya apakah gerakan ini benar-benar demi rakyat Jawa Timur atau hanya panggung politik yang gagal. Eko Gagak mengingatkan masyarakat agar tetap waspada. “Jangan sampai ikut aksi yang arahnya tidak jelas. Kalau betul demi rakyat, buktikan dengan data, bukan sekadar sensasi atau pencitraan,” pungkasnya. (KB01)
View
Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments