Jawapes Surabaya – Nota Hasil Intelijen (NHI) yang seharusnya menjadi alat penegakan hukum di lingkungan Bea Cukai, kini berubah menjadi komoditas bisnis kotor. Di Kantor Bea Cukai Surabaya, NHI diduga dijual-belikan untuk memeras pengusaha dan meloloskan barang ilegal. Praktik ini mencuat setelah terungkapnya kasus penyelundupan limbah B3 yang melibatkan PT Delvindo International Abadi.
Informasi dari berbagai sumber ungkapkan, oknum Bea Cukai di Surabaya menjadikan NHI sebagai senjata pemerasan. Barang legal ditahan tanpa alasan jelas, sementara barang ilegal bisa melenggang bebas asal ada "pelicin".
"Kalau barang Anda kena NHI, siap-siap bayar kalau tidak mau bisnis Anda berhenti. Tarifnya bervariasi, bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah tergantung nilai barang dan urgensinya," ungkap seorang sumber di industri logistik berinisial B, Rabu (12/3/2025).
Praktik ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengusaha dan importir. Bagi yang menolak membayar, barang akan tertahan di pelabuhan hingga bisnis mereka lumpuh.
"Kalau tidak bayar, barang Anda bisa tertahan berbulan-bulan dengan alasan pemeriksaan yang tidak jelas," kata seorang eksportir di Surabaya yang mengaku menjadi korban pemerasan ini.
Skandal ini semakin mencuat setelah Bea Cukai Surabaya menggagalkan penyelundupan dua truk kontainer berisi limbah B3 milik PT Delvindo International Abadi. Perusahaan asal Semarang ini diduga memperoleh "kekebalan hukum" lewat NHI meski tidak memiliki izin resmi.
Indonesia melarang keras ekspor limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), termasuk limbah tembaga, sesuai UU No. 32 Tahun 2009. Ekspor hanya diperbolehkan dalam kondisi khusus dengan izin ketat dari KLHK dan harus mematuhi Konvensi Basel. Negara tujuan wajib memiliki fasilitas pengolahan limbah sesuai standar lingkungan.
Limbah tembaga dikategorikan sebagai B3 jika mengandung bahan berbahaya dan otomatis dilarang diekspor. Pelanggar aturan ini diancam sanksi pidana dan administratif berat. KLHK menegaskan, pelaku usaha wajib mematuhi regulasi atau menghadapi konsekuensi hukum.
"Bagaimana mungkin perusahaan tanpa izin resmi bisa mengekspor limbah berbahaya? Jawabannya ada di permainan kotor NHI yang melindungi mereka," ujar seorang pejabat internal Bea Cukai yang enggan disebutkan namanya.
NHI menjadi alat kekuasaan bagi Bea Cukai. Dengan NHI, mereka bisa menahan atau meloloskan barang sesuka hati. Bagi pengusaha yang menolak membayar, barang mereka bisa terkatung-katung tanpa batas waktu.
"NHI ini ibarat pisau bermata dua. Bagi yang jujur, mereka diperas. Bagi yang membayar, bahkan barang ilegal pun bisa lolos tanpa hambatan. Ini kejahatan yang terstruktur dan harus diungkap," tegas Marhaban, praktisi hukum kepabeanan.
Ketua DPC PERADI SAI Sidoarjo Raya, H. Edy Rudyanto, S.H., menilai penyalahgunaan NHI di Bea Cukai Surabaya membahayakan perekonomian nasional.
"Jika praktik ini dibiarkan, pengusaha jujur akan hancur sementara pelaku bisnis kotor justru diuntungkan. Aparat penegak hukum harus bertindak tegas tanpa tebang pilih," ujarnya.
Ketua Jawa Corruption Watch (JCW), Rizal Diansyah Soesanto, ST, CPLA, menyebut Kantor Bea Cukai Surabaya sebagai "ladang bisnis kotor" dan mendesak KPK segera turun tangan.
"Kami menerima banyak laporan terkait praktik jual-beli NHI di Surabaya. Ini bukan penyimpangan kecil, melainkan kejahatan terorganisir yang merusak integritas negara. KPK harus audit semua penerbitan NHI dan tangkap oknum yang terlibat," tegas Rizal.
Menurutnya, jika KPK lambat bergerak, mafia NHI ini akan terus merajalela dan merugikan banyak pihak, terutama pengusaha yang bekerja secara legal.
"Praktik ini menandakan ada sindikat besar di baliknya. Kalau dibiarkan, perekonomian kita yang jadi taruhannya," ungkap Rizal.
Tanpa pengawasan ketat dan transparansi, penyalahgunaan NHI akan terus menjadi celah korupsi.
"Solusi terbaik adalah membentuk badan pengawas independen yang memantau penerbitan NHI secara real-time. Jika tidak, mafia ini akan terus menggerogoti sistem dari dalam," harap Rizal.
Kini bola panas ada di tangan aparat penegak hukum dan lembaga antikorupsi. Akankah skandal ini dibongkar hingga ke akarnya atau justru menguap seperti kasus-kasus sebelumnya? Hanya waktu yang bisa menjawab. (Red)
Pembaca
Posting Komentar