Jawapes Wonosobo – Perdebatan mengenai penerapan asas dominus litis dalam sistem peradilan Indonesia kembali mencuat. Pengacara dan praktisi hukum Panji Mugiyatno, S.H., M.Kn., CTA., yang telah lama berkecimpung dalam berbagai perkara hukum, secara tegas menolak penerapan asas ini. Menurutnya, dominus litis, yang memberikan kewenangan penuh kepada penuntut umum untuk mengontrol proses penyidikan hingga penuntutan, dapat mengancam prinsip dasar hukum dan merusak sistem peradilan yang adil, Minggu, (16/02/2025).
Secara sederhana, asas dominus litis berarti "penguasa perkara"—di mana jaksa penuntut umum memiliki kendali penuh terhadap proses hukum, termasuk penyidikan yang biasanya dilakukan oleh kepolisian. Dalam sistem ini, jaksa bisa menentukan apakah sebuah perkara layak untuk diteruskan atau dihentikan, bahkan sebelum masuk ke persidangan.
Di beberapa negara dengan sistem hukum civil law, seperti Prancis dan Jerman, asas ini memang diterapkan. Namun, Indonesia menganut sistem hukum yang unik dengan pemisahan antara kewenangan penyidikan (oleh kepolisian) dan penuntutan (oleh kejaksaan), sehingga penerapan asas ini berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan.
Panji mengemukakan empat alasan utama atas penolakannya:
1. Bertentangan dengan Asas Pemisahan Kekuasaan, Menurut Panji, asas dominus litis bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), yang menjadi salah satu pilar demokrasi.
"Penggabungan kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam satu institusi berisiko memusatkan kekuasaan secara berlebihan, sehingga menghilangkan checks and balances antarlembaga penegak hukum," tegasnya.
Jika jaksa diberikan wewenang absolut sejak tahap penyidikan, maka peran kepolisian dalam menegakkan hukum bisa semakin melemah. Hal ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan dalam proses hukum, di mana kejaksaan menjadi terlalu dominan tanpa ada pengawasan yang memadai.
2. Memicu Konflik Kepentingan antara Penyidik dan Penuntut Umum dalam sistem saat ini, penyidikan dilakukan oleh kepolisian, sementara penuntutan dilakukan oleh kejaksaan, sehingga ada mekanisme saling kontrol. Namun, jika dominus litis diterapkan, jaksa memiliki peran ganda yang bisa menimbulkan konflik kepentingan.
"Ketika kedua fungsi ini disatukan, potensi konflik kepentingan sangat besar. Misalnya, penuntut umum mungkin akan memaksakan hasil penyidikan yang cacat prosedur hanya untuk memenangkan kasus," jelas Panji.
Dengan kata lain, jaksa bisa saja menutup mata terhadap kesalahan penyidikan karena mereka sendiri yang mengontrol prosesnya sejak awal.
3. Menggerus Independensi dan Imparsialitas, Panji juga menyoroti ancaman terhadap independensi aparat penegak hukum jika asas ini diterapkan.
"Jika penuntut umum memiliki kendali penuh sejak penyidikan, sulit menjamin objektivitas proses hukum. Hal ini berisiko memunculkan praktik rekayasa atau intervensi kepentingan politik," lanjutnya.
Indonesia pernah mengalami masa ketika penegakan hukum dipengaruhi oleh kepentingan politik, terutama di era Orde Baru. Penerapan dominus litis dikhawatirkan membuka celah bagi kekuasaan untuk mengendalikan proses hukum demi kepentingan tertentu.
4. Melanggar Prinsip Peradilan yang Adil dan Persamaan di Mata Hukum Sebagai pakar hukum pidana, Panji menilai asas dominus litis berisiko menciptakan ketimpangan dalam perlakuan hukum.
"Asas ini dapat meminggirkan hak terdakwa untuk mendapat proses peradilan yang adil (fair trial) dan merusak prinsip equality before the law, terutama jika penuntut umum bertindak sewenang-wenang," pungkasnya.
Dalam sistem peradilan yang adil, terdakwa memiliki hak untuk membela diri dan memastikan bahwa proses hukum berjalan secara transparan. Namun, jika jaksa memiliki kendali mutlak sejak penyidikan, peluang bagi terdakwa untuk mendapatkan keadilan bisa semakin kecil.
Di sisi lain, ada juga pihak yang mendukung penerapan asas dominus litis di Indonesia. Argumen mereka adalah bahwa sistem ini dapat meningkatkan efektivitas penyelesaian perkara dan mencegah tumpang tindih antara kepolisian dan kejaksaan.
Seorang akademisi hukum yang enggan disebut namanya menyatakan bahwa di beberapa negara, seperti Prancis dan Belanda, sistem ini justru membuat penegakan hukum lebih efisien.
"Ketika jaksa berperan sejak awal, penyidikan dapat lebih terarah dan tidak terjadi pengulangan proses yang memperlambat perkara," ujarnya.
Namun, ia juga mengakui bahwa sistem tersebut hanya bisa berjalan dengan baik jika ada mekanisme pengawasan yang kuat terhadap jaksa, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Sebagai perbandingan, di beberapa negara yang menerapkan sistem ini, pernah terjadi kasus di mana kewenangan jaksa yang terlalu besar menyebabkan ketidakadilan.
- Kasus di Brasil, Seorang jaksa di Brasil terbukti menyalahgunakan kewenangannya dalam proses penyidikan kasus korupsi, yang akhirnya berujung pada pembatalan sejumlah vonis di Mahkamah Agung.
- Kasus di Meksiko, Dominasi kejaksaan dalam penyidikan membuat banyak kasus berlarut-larut karena tidak ada mekanisme kontrol yang efektif.
Dari berbagai argumen yang disampaikan, tampak jelas bahwa penerapan asas dominus litis dalam sistem peradilan Indonesia berpotensi menimbulkan lebih banyak masalah dibandingkan manfaatnya.
Panji Mugiyatno menegaskan bahwa sistem peradilan di Indonesia harus tetap berpegang pada prinsip checks and balances antara kepolisian dan kejaksaan, agar proses hukum tetap berjalan secara transparan, akuntabel, dan adil.
Dengan berbagai risiko yang ada, perlu adanya kajian mendalam sebelum Indonesia mempertimbangkan untuk mengadopsi asas dominus litis. Reformasi hukum seharusnya bertujuan untuk memperkuat independensi dan akuntabilitas, bukan justru mempersempit ruang keadilan.
(Rockim WSB)
Pembaca
Posting Komentar