Jawapes Surabaya, – Pengadilan Negeri Surabaya kembali menggelar sidang kasus perundungan yang menjerat Ivan Sugiamto, seorang tukang servis handphone, sebagai terdakwa. Ia didakwa merundung seorang siswa dan menghina guru di SMA Kristen Gloria 2 Surabaya. Sidang pada Rabu, 12 Februari 2025, ini beragenda pembacaan eksepsi dari tim kuasa hukum terdakwa.
Kasus ini bermula pada 21 Oktober 2024. Ivan mendatangi SMA Kristen Gloria 2 untuk mencari seorang siswa berinisial EN, yang menghina anaknya, EX, dengan sebutan "anjing pudel." Bukannya menyelesaikan masalah secara baik-baik, Ivan justru melakukan aksi perundungan secara terang-terangan di hadapan banyak saksi.
Jaksa mendakwa Ivan karena memaksa EN bersujud dan menggonggong tiga kali sebagai permintaan maaf. Kedua orang tua EN, Ira Maria dan Wardanto, menyaksikan langsung kejadian tersebut. Saat Wardanto mencoba menghentikan anaknya, Ivan diduga mengintimidasinya dengan mendekatkan badan dan memberi tekanan psikologis.
Tak hanya itu, Ivan juga berselisih dengan guru bernama Lasarus Setyo Pamungkas. Dalam amarahnya, ia melontarkan kata-kata kasar yang kini menjadi bagian dari dakwaan.
Dampak kejadian ini berat. Hasil pemeriksaan psikologis forensik di RS Bhayangkara Surabaya menunjukkan EN mengalami trauma berat dengan gejala PTSD. Jaksa Penuntut Umum, Widnyana, menegaskan bahwa korban mengalami kecemasan, depresi, dan kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari akibat insiden ini.
Dalam eksepsi yang diajukan, kuasa hukum Ivan, Billy Handiwiyanto, menegaskan bahwa kasus ini tetap berlanjut meskipun Ivan dan EN telah berdamai. Ia menyoroti bahwa laporan polisi dibuat oleh pihak sekolah, bukan oleh korban atau keluarganya.
Billy juga menyerang dakwaan jaksa yang dinilainya lemah. "Jaksa tidak menjelaskan adanya ancaman atau pemaksaan. Dakwaan hanya menyebut Ivan menyuruh EN bersujud dan menggonggong, tetapi tidak dijelaskan apa akibatnya jika EN menolak," tegasnya di persidangan.
Pihaknya meminta majelis hakim membatalkan dakwaan karena dianggap tidak memenuhi unsur hukum yang kuat.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi sistem hukum dalam menangani perundungan di sekolah. Selama ini, pelaku perundungan kerap lolos dengan alasan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, kali ini, pihak sekolah mengambil langkah hukum tegas.
Laporan sekolah ke polisi menunjukkan komitmen dalam melindungi siswa dari perundungan. Namun, pertanyaan besar muncul mengapa kasus ini tetap berjalan meskipun ada perdamaian? Apakah tekanan publik akibat viralnya video insiden ini yang membuat hukum tetap bergerak?
Majelis hakim kini dihadapkan pada dua pilihan: mengabulkan eksepsi dan menghentikan perkara atau melanjutkan sidang ke tahap pembuktian. Jika sidang berlanjut, jaksa wajib membuktikan bahwa tindakan Ivan memenuhi unsur pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan KUHP.
Kasus ini membuktikan bahwa perundungan bukan lagi sekadar masalah internal sekolah, tetapi bisa berujung pada konsekuensi hukum yang berat. Sidang berikutnya akan menentukan nasib Ivan Sugiamto—terus diadili atau lepas dari dakwaan. (Rd82)
Pembaca
Posting Komentar