Covid-19 Bongkar Gagalnya Pendidikan Di Indonesia




Jawapes Surabaya – Sudah menjadi hobi masyarakat Indonesia secara turun-temurun ngobrol, mulai di warung kopi, pos ronda, café, tempat tongkrongan hingga di media sosial. Dari mulai menggosip bahkan sampai membahas masalah politik yang lebih actual dimana lebih banyak omong kosongnya. 

Sejak virus korona (Covid-19) mewabah di China dan kemudaian diumumkan oleh WHO sebagai pendemik global, virus tersebut pun tak luput menjadi pembahasan dalam obrolan masyarakat. Dari kalangan atas sampai kalangan bawah pun ikut membahas pendemik tersebut. Ada yang membahas dalam forum ilmiah, namun ada juga yang membahas dalam obrolan semata. 

Dalam situasi seperti ini, masyarakat membutuhkan solusi dari para ahli. Para ahli harus duduk bersama membahas solusi untuk menemukan jalan keluar. 

Ahli kesehatan membahas dan menemukan cara menangani masalah kesehatan bersama. Ahli ekonomi membahas dan memberikan solusi agar ketika terjadi lockdown kesediaan pangan nasional tidak terganggu dan sekaligus menyiapkan cara agar tidak sampai terjadi krisis ekonomi global. Ahli kimia dan farmasi duduk bersama untuk menemukan obat yang tepat. Ahli agama duduk bersama menenangkan masyarakat yang mulai ketakutan terjangkit virus mematikan tersebut. Dan ahli politik membantu pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya huru-hara. 

Pemandangan yang terjadi justru sebaliknya. Ahli kesehatan berjalan sendirian menangani kasus ini. Tenaga kesehatan yang sangat terbatas membuatnya rawan tumbang. Para ahli di bidang lainnya malah sibuk membahas politik tanpa solusi. Bahkan sampai ahli agama pun membahas politik. 

Situasi seperti ini tentunya hanya akan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Melihat kondisi seperti ini menandakan sistem pendidikan di Indonesia telah gagal mencetak kaum intelek yang tanggap. Pemerintah sudah menggelontorkan dana ribuan trilyun untuk biaya riset dan beasiswa. Namun ketika terjadi situasi genting tidak tampak kaum intelek yang turut gotong-royong. 

Saat ini ketakutan serta kepanikan menebar dimana-mana. Masyarakat dibuat kalap, mereka yang banyak uang memborong kebutuhan pokok. sementara yang tidak punya uang terpaksa kelaparan. 

Perbedaan karakter masyarakat di Asia Timur dengan di Indonesia tentunya karena pengaruh sistem pendidikan di negaranya. Asia Timur menonjolkan pekerti dan karakter. Sementara di Indonesia pendidikan karakter hanya sebagai pelengkap. 

Dari SD kelas 1 sampai dengan perguruan tinggi selalu mendapatkan teori dilarang membunyikan radio keras-keras ketika tetangga sedang sakit. Praktiknya, “Radio-radio saya apa urusan Anda”. 

Sistem pembelajaran di Indonesia terbiasa dengan sistem satu arah. Guru menerangkan dan siswa mendengar, mencatat, dan menghafal. Proses pembelajaran semacam itu merusak peserta didik. Maka dari itu, siswa hanya hafal teori tetapi praktiknya nol. 

Akibatnya, saat semua lembaga pendidikan diliburkan, siswa tidak mampu belajar mandiri di rumah. Guru memberikan tugas merangkum. Hasilnya siswa malah menyalin bacaan. Ini yang dinamakan dengan generasi salin-tempel. 

Berbeda dengan di negara maju yang lebih menerapkan karakter dan pekerti. Guru akan khawatir jika siswanya tidak memiliki karakter dan pekerti yang baik daripada tidak jago menghafal. Alasannya, telat belajar menghitung dan menghafal bisa dipelajari namun telat belajar pekerti dan karakter akan menjadi bencana. 

Siswa diajarkan untuk belajar mandiri seperti mencari, merangkai, dan memahami. Sistem seperti itu akan melahirkan generasi yang tanggap dalam situasi apapun. Dan itu tampak manfaatnya belakangan ini. Bukan malah semuanya menjadi ahli korona. (Rizal)

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama