Prihandoyo Kuswanto & Slamet Santoso
Jawapes Surabaya - Peringatan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memutuskan kembali ke UUD 1945 dengan dijiwai Piagam Jakarta. sampai hari ini saya mengikuti berbagai webinar. Saya masih melihat para intelektual Islam belum begitu banyak yang membaca dan membuka sejarah Pancasila dan UUD 1945. Dengan lleterasi yang memadahi , sebagian besar masih ngotot kembali ke Piagam Jakarta dengan berbagai argumentasinya .
Tanpa kembali ke Piagam Jakarta, negara ini harusnya Syariat Islam sudah lama dijalan kan ada misal Pendidikan yang basis nya Syariat Islam dari Paud sanpai Perguruan tinggi. Disamping itu pesantren-pesantren tumbuh dengan modern ada di negeri ini. Soal muamalah kehidupan umat Islam perkawinan , perceraian , bagi waris ,wakaf , bahkan negara menghadirkan pengadilan Agama yang bisa menyelesaikan persoalan dengan adil dalam penyelesaian masalah.
Soal Ibadah negara mengurus Ibadah umat Islam ibadah Haji , Umroh , Soal ekonomi sedang berkembang pesat Ekonomi syariah , bank Syariah dan lembaga-lembaga keuangan syariah jadi negara dengan umat Islam terbesar ini Syariah Islam harus nya di Jalankan.
Yang belum dijalankan adalah hukuman Qsas , hukum-hukum badani yang itu wilayah negara .
Seharus nya UUD 1945 yang asli itulah yang harus menjadi pusat perhatian kita semua sebab dengan diamandemen nya UUD 1945 nenjadikan negara ini rusak dalam kehidupan ketatanegaraan , yang tentu saja berpengaruh langsung kepada tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka lahirlah RUU HIP ini hanya akibat saja, persoalan pokok nya ada di UUD 1945 Asli yang telah diamandemen.
RUU HIP adalah menginginkan ada nya GBHN dalam bernegara tetapi mereka lupa bahwa, GBHN itu satu kesatuan dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara maka keteraturan sistem akan terjadi , MPR merumuskan GBHN presiden yang menjalankan nya. Kemudian presiden melaporkan hasil nya pada MPR .
Sementara BPIP itu hanya Lembaga yang dibentuk dengan kepres yang ingin diberi legitimasi dengan UU tetapi terjadi kekeliruan dimana BPIP itu tidak boleh dan tidak punya kapasitas menafsirkan Ideologi Pancasila sebab tafsir Pancasila sudah dibuat oleh pendiri negeri ini dan sudah disahkan oleh PPKI yaitu UUD 1945.
Sejak UUD 1945 dan Pancasila disahkan oleh PPKI setelah itu terjadi pengkhianatan-pengkhianatan UUD 1945 tidak pernah ditegakan sejak jaman bung Karno , Pak Harto , Dan jaman reformasi justru UUD 1945 diamandemen dan di Mutilasi dimasukan dan disetubuhkan dengan Individualisme , Liberalisme, Kapitalisme dengan sistem Presidenseil. Aneh nya para Soekarnois yang ada di PDIP dan partai –partai menikmati hasil amandemen UUD 1945. Evoria bahkan negara sudah menjadi bancakan oleh partai-partai dengan oligarkhy kekuasaan nya membuat UU yang menguntungkan mereka. Sistem pemilu hanya sekedar alat legitimasi bagi partai politik untuk menggaruk kekayaan ibu pertiwi .
Kesepakatan atau konsensus para pendiri negara ini yang tertuang didalam pembukaan UUD 1945 yang kemudian diuraikan didalam batang tubuh UUD 1945 harus nya menjadi komitmen berbangsa dan bernegara justru komitmen ini tidak perna dijalankan dengan istikoma. Sejak pertama kali pemerintahan dibentuk sudah tidak sesuai dengan UUD 1945 dengan model Perdana Menteri yang sesungguh nya tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang perdana menteri pada UUD 1945 sebab Bung Karno dan Bung Hatta masih sibuk mencari legitimasi pengakuan-dari negara-negara di dunia untuk negara Indonesia yang baru lahir .
Kemudian muncul maklumat X wakil Presiden muncul partai politik disinilah awal mulah partai politik ada dan hal ini juga melanggar UUD 1945 sebab tidak ada satu pasal pun di UUD 1945 asli.
Memasuki Orde Baru Pancasila dan UUD 1945 tidak dijalankan dengan benar MPR tidak menjadi lembaga yang diisi oleh utusan-utusan golongan yang di ajukan golongan-golongan tetapi atas persetujuan presiden walau di belakang layar .
Reformasi justru lebih para lagi sebab UUD 1945 diamandemen untuk kepentingan asing melalui NGO tangan –tangan asing mereka melakukan penyusupan pada tokoh-tokoh partai politik dan LSM untuk menganti UUD 1945 asli. Disini tokoh-tokoh Islam justru tidak bergerak malah mempelopori amandemen tokoh sentral saat itu adalah Amin Rais yang sampai webinar seminggu yang lalu yang diadakan Alumni perguruan tinggi masih kekeh terhadap kebenaran amandemen UUD 1945 .
Bukan hanya soal RUU HIP yang menjadikan umat bergerak dan bersatu untuk menolak. Harusnya umat Islam sadar dan harus mengembalikan UUD 1945 yang asli sebab dengan kembali nya UUD 1945 asli umat Islam yang mayoritas ini akan duduk di MPR dan menyusun GBHN. Dengan demikian maka kedaulatan Umat Islam dalam berbangsa dan bernegara itu nyata adanya. Sebanding dengan perjuangan Umat Islam dalam mendirikan negara ini dan juga sebanding dengan menghilangkan sembilan kata dalam Piagam Jakarta .
Oleh karena UUD 1945 merupakan Konsensus bersama pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, perjuangan umat Islam harus mampu meluruskan Qblat Bangsa dan Negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang asli, itu berarti kita meneruskan Perjuangan Ulama-ulama kita seperti KH Wahid Hasym ,KH Agus Salim , KI Bagus Hadi Kusumo ,KH Abi Kusno Tjokrosasmito ,KH. Kasman Singo Dimejo .KH.Khahar Muzakhir ,yang merupakan tokoh-tokoh Islam yang ikut membidani lahir nya negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia .
Pertarungan politik saat ini memang merupakan pertarungan pemikiran dimana umat Islam dihadapkan pada kenyataan. Negara akan di jadikan sekuler Komunis yang bisa kita rasakan rezim sudah tidak lagi menggunakan aturan konstitusi. Begitu gampang dilanggar dan melahirkan UU yang sesuai dengan kehendak hatinya. Begitu juga dengan Partai PDIP, GOLKAR, NASDEM yang telah bekerja sama dengan partai komunis China dan mengirim kader nya untuk di cuci otak. Jadi dengan adanya RUU HIP itu jelas bukan sesuatu yang tiba-tiba tetapi sebuah perencanaan yang panjang oleh tangan-tangan yang tersembunyi.
Setelah Amandemen UUD 1945 keadaan menjadi kacau, sebab Panca Sila yang seharus nya menjadi dasar negara diabaikan mana bisa demokrasi dengan pemilihan langsung yang jelas mempertarungkan dua kubu atau lebih disamakan dengan Gotong royong , disamakan dengan Persatuan Indonesia , disamakan dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikma kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan . Usaha mencangkokan Pancasila dengan Demokrasi liberal adalah bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila .
Cuplikan Pidato Presiden Sukarno
............” Telah sering saya katakan, bahwa demokrasi adalah alat. Demokrasi bukan tujuan. Tujuan ialah satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spirituil. Sebagai alat, maka demokrasi ( dalam arti bebas berfikir dan bebas berbicara ( harus berlaku dengan mengenal beberapa batas. Batas itu ialah batas kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan, batas keselamatan Negara, batas kepribadian bangsa, batas pertanggungan-jawab kepada Tuhan. Manakala batas-batas ini tidak diindahkan, maka menjelmalah demokrasi menjadi anarchi si pandai omong semata-mata.
Kita sekarang kalau tidak awas-awas, menuju kepada anarchi total. Tidakkah demikian? Segala macam krisis sudah menumpah kepada kita. Krisis demokrasi sendiri, sehingga orang ada yang meminta diktator atau junta militer. Krisis akhlak. Krisis Angkatan Perang, karena ada orang mengira bahwa demokrasi-kesasar itupun harus dilakukan dalam Angkatan Perang. Krisis cara meninjau persoalan, dalam mana sinisme merajalela, dan dalam mana segala hal dikuasai oleh demokrasi-omong itu, sehingga hasil tiap-tiap persoalan hanyalah cemooh belaka, ( cemooh, cemooh, sekali lagi cemooh. Krisis Gezag, dalam mana orang tak mau mengerti bahwa Kewibawaan Gezag haruslah kita bina bersama, kita susun bersama, kita pelihara bersama, dan tidak malahan kita dongkel, kita "slopen", dengan sikap yang kini kita lihat di beberapa daerah.
Ya, krisis menyusul krisis, sehingga akhirnya mungkin nanti menjadilah krisis itu satu krisis total, krisis mental.
National dignity kita amblas samasekali, sehingga banyak di antara kita ini tidak merasa malu bahwa dunia-luaran ada yang goyang kepala, ada yang bertampik sorak kesenang-senangan. Tidak merasa malu, kalau dunia-baru berkata "Indonesia is breaking up" (Indonesia mulai runtuh), "Quo vadis Indonesia?" (kemanakah engkau Indonesia) "A nation in collapse" (Satu bangsa yang sedang ambruk).
Ah, saudara-saudara, mengapa toh begini? Apa memang bangsa Indonesia itu ditakdirkan Tuhan menjadi bangsa inlander, bangsa yang pecah-belah, bangsa yang tak mampu mengangkat dirinya ke taraf yang lebih tinggi? Saya yakin tidakl Tetapi saya kira bangsa Indonesia salah sistim politiknya, terutama sekali dalam masa perpindahan ini. Bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia telah "disalah-gunakan" oleh pemimpin-pemimpinnya dalam rock-and-rollnya demokrasi-omong yang tak kenal batas, demokrasi-omong yang tak kenal disiplin, demokrasi-omong yang tak kenal pimpinan.
Ya, demokrasi yang tak kenal pimpinan. Demokrasi kita demokrasi yang tak terpimpin. Demokrasi kita demokrasi "free fight liberalism". Demokrasi kita demokrasi "hantam-kromo", demokrasi "asal bebas mengeluarkan pendapat". Demokrasi bebas mengkritik, bebas mengejek, bebas mencemooh, bebas.. bebas.. bebas. Zonder leiderschap, zonder management ke arah tujuan yang satu. Demokrasi kita ialah demokrasi yang hanya mendewa-dewakan kebebasan, hanya mengkeramatkan kebebasan. Demokrasi yang di dalamnya tak ada yang keramat kecuali kebebasan itu sendiri. Demokrasi kita ialah demokrasi yang di dalamnya ”niets wordt ontzien behalve de vrijheid zelve”. Kritik ke kiri, diejek ke kanan, kejam di depan, fitnah ke belakang, sanggah ke atas, cemooh ke bawah. Hanya satu yang tidak dikritik, hanya satu yang tidak diejek, tidak dikecam, tidak difitnah, tidak disanggah, tidak dicemooh, yaitu ”kebebasan omong” itu sendiri.
Kita sekarang ini telah dikuasai oleh demokrasi yang demikian itu. Padahal demokrasi adalah sekedar alat. Kita telah dikuasai oleh alat. Dan saya bertanya: Siapakah yang sebenarnya dalam praktek menarik keuntungan dari demokrasi semacam ini? Bukan Pak Noyo penjual soto di pinggir jalan. Bukan Mang Ucak si tukang oncom. Bukan si Bujung penangkap ikan di danau Maninjau. Bukan si Nyong pengupas kelapa di pantai Bitung. Bukan si Jaetun pengemudi perahu di sungai Musi. Bukan mereka yang beruntung. Sebab mereka semuanya rakyat cilik yang tidak banyak omong. Mereka tidak berpidato di rapat-rapat, mereka tidak kasih interview di koran-koran, mereka tidak menulis sindiran-sindiran di pojok surat kabar. Mereka diam dan bekerja. Mereka, dalam demokrasi sekarang, teoretis mempunyai persamaan hak-omong dengan siapapun juga, tetapi mereka dalam praktik tak mempunjai kesempatan dan tak mau mempergunakan kesempatan untuk “ngomong” itu. Mereka tak akan bahagia dengan demokrasi politik saja, apalagi demokrasi politik "free fight liberalism" sebagai yang kita jalankan sekarang ini mereka gandrung akan demokrasi sosial yang memberi mereka kebahagiaan di segala lapangan, terutama sekali di lapangan ekonomi.
Karena itu, maka kita perlu mengadakan koreksi dalam sistim politik yang sampai sekarang kita anut. Sistem politik yang kita jiplak mentah-mentahan dari dunia luaran. Bukan "free fight liberalism" yang harus kita pakai, tetapi satu demokrasi yang mengandung management di dalamnya ke arah tujuan yang satu , yaitu masyarakat keadilan sosial. Satu demokrasi yang berdisiplin, satu demokrasi yang sesuai dengan dasar-hidup bangsa Indonesia yaitu gotong-royong, satu demokrasi yang membatasi diri sendiri kepada tujuan yang satu, satu demokrasi met leiderschap, satu demokrasi terpimpin.
Kita sebagai bangsa Indonesia harus berani melakukan koreksi total terhadap sistem yang dijalankan hari ini sistem yang tidak lagi bermanfaat bagi rakyat Indonesia apa lagi menguntungkan bangsa Indonesia buat apa sistem negara yang hanya membebani rakyat , sistem negara yang tidak mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tinjau kembali sistim itu, dan menggantinya dengan satu sistim yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa kita, lebih sesuai dengan gotong-royong bangsa kita, lebih memberi pimpinan atau management ke arah tujuan yang satu itu, yaitu masyarakat keadilan sosial. Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak liar. Berilah bangsa kita satu demokrasi gotong-royong yang tidak jégal-jégalan. Berilah bangsa kita satu demokrasi "met leiderschap" ke arah keadilan sosial. Berilah bangsa kita satu demokrasi terpimpin. Sebab demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perseorangan, akan menenggelamkan kepentingan Nasional dalam arusnya malapetaka.!
Perubahan kedaulatan di tangan MPR diganti dengan Menurut Undang-Undang Dasar menjadi sangat kacau . “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” UU dibuat oleh Presiden dan DPR , yang merupakan presentasi dari kedaulatan rakyat , kita bisa bayangkan bahwa UU itu bisa dibatalkan oleh MK yang keanggotaan MK dipilih dari hasil Fit And Propertes , pertanyaan nya dimana kedaulatan rakyat itu ? Berdaulat mana Rakyat , Presiden , DPR dengan MK ?
Kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi karena kita tau sejarah nya , Undang-Undang Dasar itu adalah Undang- Undang dasar yang Seperti yang di ucapkan oleh Bung Karno dalam laporan pembahasan UUD pada sidang BPUPKI .......................” Alangkah keramatnja, toean2 dan njonja2 jang terhormat, oendang2 dasar bagi sesoeatoe bangsa.
Tidakkah oendang2 sesoeatoe bangsa itoe biasanja didahoeloei lebih doeloe, sebeloem dia lahir, dengan pertentangan paham jang maha hebat, dengan perselisihan pendirian2 jang maha hebat, bahkan kadang2 dengan revolutie jang maha hebat, dengan pertoempahan darah jang maha hebat, sehingga sering kali sesoeatoe bangsa melahirkan dia poenja oendang2 dasar itoe dengan sesoenggoehnja di dalam laoeatan darah dan laoetan air mata.
Oleh karena itoe njatalah bahwa sesoeatoe oendang2 dasar sebenarnja adalah satoe hal jang amat keramat bagi sesoeatoe rakjat, dan djika kita poen hendak menetapkan oendang2 dasar kita, kta perloe mengingatkan kekeramatan pekerdjaan itoe.
Dan oleh karena itoe kita beberapa hari jang laloe sadar akan pentingnja dan keramatnja pekerdjaan kita itoe. Kita beberapa hari jang laloe memohon petoendjoek kepada Allah S.W.T., mohon dipimpin Allah S.W.T., mengoetjapkan: Rabana, ihdinasjsiratal moestaqiem, siratal lazina anamta alaihim, ghoiril maghadoebi alaihim waladhalin.
Dengan pimpinan Allah S.W.T., kita telah menentoekan bentoek daripada oendang2 dasar kita, bentoeknja negara kita, jaitoe sebagai jang tertoelis atau soedah dipoetoeskan: Indonesia Merdeka adalah satoe Republik. Maka terhoeboeng dengan itoe poen pasal 1 daripada rantjangan oendang2 dasar jang kita persembahkan ini boenjinja: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatoean jang berbentoek Republik".
Jadi sangat yakinlah kita bahwa UUD 1945 itu dibuat bukan dengan sementara ,bukan dengan dengan singkat , tetapi dengan ijin Allah SWT , hal inilah yang tidak dibaca oleh pengamandemen UUD 1945 ,Dengan demikian jihad mengembalikan UUD 1945 adalah sebuah keharusan bagi anak bangsa yang mencintai negeri nya.
Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto.
Ketua Rumah Pancasila Indonesia.
(C San/Prihand)
View
Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments