Jangan Ngomong Ideologi Pancasila, Kalau Tidak Kembali Pada UUD 1945 Asli

Ir. Prihandyo Kuswanto (Ketua Rumah Pancasila)
Jawapes Surabaya - Gegap gempita nya RUU HIP yang beberapa minggu ini menguras energi. Penolakan seantero negeri rupa nya prediksi kawan –kawan menjadi ke nyataan bahwa akan di masukan nya Tap MPR no XXV Th 1966 dan dihilangkan nya Panca Sila yang di peras-peras ,Trisila, Ekasila , Gotong royong serta menghilangkan frasa kata Ketuhanan yang berkebudayaan ,rupanya pemerintah akan menantang arus sebab yang dipersoalkan adalah apakah BPIP itu punya kapasitas menafsirkan Ideologi Panca Sila. BPIP itu siapa..? kapasitas Orang-orang nya apa akuntable bagaimana rekrutmen nya. Belum hilang dari ingatan kita ketua BPIP perna mengatakan Agama musuh Panca Sila. 

Dulu ada BP7 , bukan Presiden yang memberikan legalitas tetapi MPR saat itu juga tidak menafsirkan Ideologi Panca Sila. Di zaman Orde Baru, masyarakat Indonesia mengenal BP 7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). BP7 hanya Badan yang melakukan pembinaan Pendidikan pelaksanaan Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Panca Sila. Jadi, bukan menafsirkan Ideologi Panca Sila. Kita sering Mendengar Ideologi Pancasila tetapi apakah banyak yang mengerti apa itu Ideologi Panca Sila.

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa adalah sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru. Panduan P4 dibentuk dengan Ketetapan MPR no. II/MPR/1978.

Dibandingkan  BP7 dan BPIP.  Lebih bahaya BPIP sebab tafsir Ideologi Panca Sila justru hanya BPIP yang punya tafsir tunggal .

Kalau UU itu misal nya soal  membangun karakter bangsa dengan Panca Sila tidak apa-apa , tetapi jika Tafsir Ideologi Panca Sila di berikan kepada BPIP akan menjadi masalah serius bisa yang tidak sesuai Panca Sila akan digebuk . 
Persoalan Ideologi Pancasila ini harus jelas dulu ,sebab yang disebut Ideologi Panca Sila itu adalah Ideologi Negara Berdasarkan Panca Sila, dan tafsir itu sudah dibuat oleh pendiri negara ini yang dimaksud Ideologi Negara Berdasarkan Pancasila adalah "UUD 1945 asli mulai dari Pembukaan , Batang Tubuh, dan Penjelasan nya".  Itulah ideologi Negara berdasarkan Panca Sila , Celaka nya UUD 1945 sudah diamandemen dan penjelasan yang memuat pokok-pokok pikiran sudah dihilangkan , arti nya Ideologi Negara berdasarkan  Panca Sila sudah diamandemen , apa Megawati , Mahfud MD, Prabowo, Jokowi , Puan Maharani sebagai ketua DPR , Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR  memahami apa itu Ideologi negara Panca Sila.
Setelah Amandemen UUD 1945 keadaan menjadi kacau, sebab Panca Sila yang seharus nya menjadi dasar negara diabaikan mana bisa demokrasi dengan pemilihan langsung yang jelas mempertarungkan dua kubu atau lebih disamakan dengan Gotong royong , disamakan dengan Persatuan Indonesia , disamakan Dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikma kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan . Usaha mencangkokan Pancasila dengan Demokrasi liberal adalah bentuk pengkhianatan terhadap ideologi Pancasila .
Mari kita cermati apa yang di katakan Bung Karno Cuplikan Pidato Presiden Sukarno  
.....” Telah sering saya katakan, bahwa demokrasi adalah alat. Demokrasi bukan tujuan. Tujuan ialah satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spirituil".

Sebagai alat, maka demokrasi dalam arti bebas berfikir dan bebas berbicara, harus berlaku dengan mengenal beberapa batas. Batas itu ialah batas kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan, batas keselamatan Negara, batas kepribadian bangsa, batas pertanggungan-jawab kepada Tuhan. 

Manakala batas-batas ini tidak diindahkan, maka menjelmalah demokrasi menjadi anarchi si pandai omong semata-mata.
Kita sekarang kalau tidak awas-awas, menuju kepada anarchi total. Tidakkah demikian, segala macam krisis sudah menumpah kepada kita. Krisis demokrasi sendiri, sehingga orang ada yang meminta diktator atau junta militer. Krisis akhlak. Krisis Angkatan Perang, karena ada orang mengira bahwa demokrasi-kesasar itupun harus dilakukan dalam Angkatan Perang.
Krisis cara meninjau persoalan, dalam mana sinisme merajalela, dan dalam mana segala hal dikuasai oleh demokrasi-omong itu, sehingga hasil tiap-tiap persoalan hanyalah cemooh belaka, ( cemooh, cemooh, sekali lagi cemooh. Krisis Gezag, dalam mana orang tak mau mengerti bahwa Kewibawaan Gezag haruslah kita bina bersama, kita susun bersama, kita pelihara bersama, dan tidak malahan kita dongkel, kita "slopen", dengan sikap yang kini kita lihat di beberapa daerah.

Ya, krisis menyusul krisis, sehingga akhirnya mungkin nanti menjadilah krisis itu satu krisis total, krisis mental.
National dignity kita amblas samasekali, sehingga banyak di antara kita ini tidak merasa malu bahwa dunia-luaran ada yang goyang kepala, ada yang bertampik sorak kesenang-senangan. Tidak merasa malu, kalau dunia-baru berkata "Indonesia is breaking up" (Indonesia mulai runtuh), ( "Quo vadis malu, kalau dunia-baru berkata "Indonesia is breaking up" (Indonesia mulai runtuh), "Quo vadis Indonesia?" (kemanakah engkau Indonesia?) "A nation in collapse" (Satu bangsa yang sedang ambruk).

Ah, saudara-saudara, mengapa toh begini.  Apa memang bangsa Indonesia itu ditakdirkan Tuhan menjadi bangsa inlander, bangsa yang pecah-belah, bangsa yang tak mampu mengangkat dirinya ke taraf yang lebih tinggi. Saya yakin tidak. Tetapi saya kira bangsa Indonesia salah sistim politiknya, terutama sekali dalam masa perpindahan ini. Bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia telah "disalah-gunakan" oleh pemimpin-pemimpinnya dalam rock-and-rollnya demokrasi-omong yang tak kenal batas, demokrasi-omong yang tak kenal disiplin, demokrasi-omong yang tak kenal pimpinan.

Ya, demokrasi yang tak kenal pimpinan. Demokrasi kita demokrasi yang tak terpimpin. Demokrasi kita demokrasi "free fight liberalism". Demokrasi kita demokrasi "hantam-kromo", demokrasi "asal bebas mengeluarkan pendapat", demokrasi bebas mengkritik, bebas mengejek, bebas mencemooh, bebas ( bebas bebas zonder leiderschap, zonder management ke arah tujuan yang satu). 

Demokrasi kita ialah demokrasi yang hanya mendewa-dewakan kebebasan, hanya mengkeramatkan kebebasan. Demokrasi yang di dalamnya tak ada yang keramat kecuali kebebasan itu sendiri. Demokrasi kita ialah demokrasi yang di dalamnya ”niets wordt ontzien behalve de vrijheid zelve”. Kritik ke kiri, diejek ke kanan, kejam di depan, fitnah ke belakang, sanggah ke atas, cemooh ke bawah. Hanya satu yang tidak dikritik, hanya satu yang tidak diejek, tidak dikecam, tidak difitnah, tidak disanggah, tidak dicemooh, yaitu ... ”kebebasan omong” itu sendiri.

Kita sekarang ini telah dikuasai oleh demokrasi yang demikian itu. Padahal demokrasi adalah sekedar alat. Kita telah dikuasai oleh alat. Dan saya bertanya: Siapakah yang sebenarnya dalam praktek menarik keuntungan dari demokrasi semacam ini. Bukan Pak Noyo penjual soto di pinggir jalan. Bukan Mang Ucak si tukang oncom. Bukan si Bujung penangkap ikan di danau Maninjau. Bukan si Nyong pengupas kelapa di pantai Bitung. Bukan si Jaetun pengemudi perahu di sungai Musi. Bukan mereka yang beruntung. Sebab mereka semuanya rakyat cilik yang tidak banyak omong. Mereka tidak berpidato di rapat-rapat, mereka tidak kasih interview di koran-koran, mereka tidak menulis sindiran-sindiran di pojok surat kabar. 
Mereka diam dan bekerja. Mereka, dalam demokrasi sekarang, teoretis mempunyai persamaan hak-omong dengan siapapun juga, tetapi mereka dalam praktik tak mempunjai kesempatan dan tak mau mempergunakan kesempatan untuk “ngomong” itu. 

Mereka tak akan bahagia dengan demokrasi politik saja, apalagi demokrasi politik "free fight liberalism" sebagai yang kita jalankan sekarang ini mereka gandrung akan demokrasi sosial yang memberi mereka kebahagiaan di segala lapangan, terutama sekali di lapangan ekonomi.

Karena itu, maka kita perlu mengadakan koreksi dalam sistim politik yang sampai sekarang kita anut, sistim politik yang kita jiplak mentah-mentahan dari dunia luaran. Bukan "free fight liberalism" yang harus kita pakai, tetapi satu demokrasi yang mengandung management di dalamnya ke arah tujuan yang satu , yaitu masyarakat keadilan sosial. Satu demokrasi yang berdisiplin, satu demokrasi yang sesuai dengan dasar-hidup bangsa Indonesia yaitu gotong-royong, satu demokrasi yang membatasi diri sendiri kepada tujuan yang satu, satu demokrasi met leiderschap, satu demokrasi terpimpin.

Janganlah kita beku. Janganlah kita statis dalam arti, satu kali ambil sistim politik, terus kita pertahankan sistim politik itu. "Think-and-rethink, shape-and-reshape". Demikianlah pesanan saya tempo hari. 
Sri Jawaharlal Nehru tempo hari mempergunakan perkataan "remaking ", dan di dalam perkataan itu terasalah dinamik, dan bukan kestatisan atau kebekuan. Sebagai sering saya katakan, "Revolusi adalah Gerak, Revolusi adalah Beweging, Revolusi adalah Gerak Maju meninggalkan Hari Kemaren, Revolution rejects yesterday".
Apakah kita hendak beku, mengamplok saja terus kepada sistim politik free fight liberalism ini. Yang di dalam dua-belas tahun saya telah mengganjari kita dengan enam-belas kabinet atau rata-rata sekali dalam tiap delapan bulan. Yang begitu meracuni Angkatan Perang kita sehingga kita sekarang bertélé-télé dengan krisis di dalam tentara. Yang pada dasarnya begitu invreten ke dalam kesadaran-bernegara dan kesadaran-berpemerintah kita, sehingga kita hampir-hampir saja remuk-redam dengan pelbagai peristiwa daerah, kalau kita tidak waspada. Yang hampir-hampir juga membawa kita kepada krisis kebangkrutan keuangan dan perekonomian. Yang dalam dua-belas tahun ini belum dapat membawa kita ke arah realisasi daripada cita-cita masyarakat adil dan makmur, cita-cita masyarakat yang ekonomis gotong-royong, tetapi sebaliknya masih terus menetapkan rakyat kita dalam dunia eksploitasinya ekonomis-liberalisme. Yang telah membuat banyak pemuda kita menjadi "liar", cinta mambo dan rock-and-roll, cowboy-cowboyan.

Ya, benar, ditinjau dari sudut kemajuan sejarah, maka kita sekarang ini lebih maju dari di zaman kolonial. Di zaman kolonial, kita tidak mengalami kebebasan-kebebasan demokrasi. Di zaman kolonial, kita gandrung dan berjuang mati-matian untuk kebebasan-kebebasan ini. Dan tatkala kita mencapai kemerdekaan, laksana pecahlah hati kita karena terbahak-bahak senang memperoleh kebebasan-kebebasan itu. Dan kita bukan saja menghantar kebebasan itu, kita malahan mengeksploitir kebebasan itu, ya "menghantam-kromokan" kebebasan itu, sampai kepada batas-batasnya yang paling ujung dan sampai melampaui batas-batasnya yang paling ujung.

Sekali lagi saya katakan, ditinjau dari sudut histori, kita sekarang lebih maju daripada di zaman penjajahan. Kita telah melakukan pemilihan-pemilihan-umum dengan tertib dan teratur, baik buat Parlemen maupun buat Konstituante. Kita tahun ini malahan sedang sibuk-sibuknya menjalankan pemilihan-umum untuk Dewan-Dewan Perwakilan Daerah. Tetapi soalnya bukan itu. Soalnya ialah: sistim politik apakah terbaik dan tercocok untuk kita, untuk mentransformir alam kolonial ke alam nasional, untuk mentransformir alam eksploitasi ke alam keadilan sosial? Soalnya ialah, apakah sistim politik yang sampai sekarang kita anut itu sudah sistim politik yang sebaik-baiknya bagi Indonesia, sudah satu sistim politik yang memberi kebahagiaan kepada rakyat Indonesia?

Dan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini saya menjawab: Tidak..!! Sistim politik yang sampai sekarang kita anut, tidak memberi kebahagiaan kepada rakyat banyak. Kita harus tinjau kembali sistim itu, kita harus herzien sistim itu.
Tinjau kembali sistim itu, dan menggantinya dengan satu sistim yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa kita, lebih sesuai dengan gotong-royong bangsa kita, lebih memberi pimpinan atau management ke arah tujuan yang satu itu, yaitu masyarakat keadilan sosial. Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak liar. Berilah bangsa kita satu demokrasi gotong-royong yang tidak jégal-jégalan. Berilah bangsa kita satu demokrasi "met leiderschap" ke arah keadilan sosial. Berilah bangsa kita satu demokrasi terpimpin. Sebab demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perseorangan, akan menenggelamkan kepentingan Nasional dalam arusnya malapetaka..!

Perubahan kedaulatan di tangan MPR diganti dengan Menurut Undang-Undang Dasar menjadi sangat kacau . “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” UU dibuat oleh Presiden dan DPR , yang merupakan presentasi dari kedaulatan rakyat , kita bisa bayangkan bahwa UU itu bisa dibatalkan oleh MK yang keanggotaan MK dipilih dari hasil Fit And Propertes ,lebih aneh lagi Keputusan Makamah Agung MA , tidak berlaku untuk menganulir keputusan KPU dan MK , pertanyaan nya siapa pemegang hukum tertinggi di negeri ini MA, KPU , apa MK lalu dimana kepastian hukum itu ? apa MA begitu tolol membuat keputusan yang tidak berimplikasi hukum ?terus  kedaulatan rakyat itu ? Dimana Kepastian hukum itu ?Berdaulat mana Rakyat , Presiden , DPR dengan MK dan KPU ?
Kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi karena kita tau sejarah nya , Undang-Undang Dasar itu adalah Undang- Undang dasar yang Seperti yang di ucapkan oleh Bung Karno dalam laporan pembahasan UUD pada sidang BPUPKI ...” 
Alangkah keramatnja, toean2 dan njonja2 jang terhormat, oendang2 dasar bagi sesoeatoe bangsa.
Tidakkah oendang2 sesoeatoe bangsa itoe biasanja didahoeloei lebih doeloe, sebeloem dia lahir, dengan pertentangan paham jang maha hebat, dengan perselisihan pendirian2 jang maha hebat, bahkan kadang2 dengan revolutie jang maha hebat, dengan pertoempahan darah jang maha hebat, sehingga sering kali sesoeatoe bangsa melahirkan dia poenja oendang2 dasar itoe dengan sesoenggoehnja di dalam laoeatan darah dan laoetan air mata.
Oleh karena itoe njatalah bahwa sesoeatoe oendang2 dasar sebenarnja adalah satoe hal jang amat keramat bagi sesoeatoe rakjat, dan djika kita poen hendak menetapkan oendang2 dasar kita, kta perloe mengingatkan kekeramatan pekerdjaan itoe.
Dan oleh karena itoe kita beberapa hari jang laloe sadar akan pentingnja dan keramatnja pekerdjaan kita itoe. Kita beberapa hari jang laloe memohon petoendjoek kepada Allah S.W.T., mohon dipimpin Allah S.W.T., mengoetjapkan: Rabana, ihdinasjsiratal moestaqiem, siratal lazina anamta alaihim, ghoiril maghadoebi alaihim waladhalin.
Dengan pimpinan Allah S.W.T., kita telah menentoekan bentoek daripada oendang2 dasar kita, bentoeknja negara kita, jaitoe sebagai jang tertoelis atau soedah dipoetoeskan: Indonesia Merdeka adalah satoe Republik. Maka terhoeboeng dengan itoe poen pasal 1 daripada rantjangan oendang2 dasar jang kita persembahkan ini boenjinja: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatoean jang berbentoek Republik.”..
Jadi menurut saya sangat yakinlah kita bahwa UUD 1945 itu dibuat bukan dengan sementara ,bukan dengan dengan singkat , tetapi dengan ijin Allah SWT , hal inilah yang tidak dibaca oleh pengamandemen UUD 1945 ,Dengan demikian jihat mengembalikan UUD 1945 adalah sebuah keharusan bagi anak bangsa yang mencintai negeri nya .,,,,,,,,,,,,,,”

Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto
Ketua Rumah Pancasila.
(CSan/Prihand).

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama