Ir. Priandoyo Kuswanto.
Ketua Rumah Pancasila.
Jawapes Surabaya - Bagi pemerhati ketatanegaraan dan Hukum memang ada yang ganjil sejak UUD 1945 diamandemen kemudian lahir Makamah Konstitusi ( MK ) padahal didalam UUD 1945 asli pemegang hukum tertinggi adalah Makamah Agung ( MA) disinilah terjadi dua Matahari didalam kekuasaan hukum yang tentu saja menjadikan hukum tidak memberi kepastian hukum pada pencari keadilan .
Setelah diamandemen nya UUD 1945 memang terjadi karut marut didalam ketatanegaraan belum selesai polemik RUU HIP yang dengan sengaja terjadi jungkir balik Tata urutan Hukum , Panca Sila yang menja disumber dari segala sumber hukum di balik menjadi UU Haluan Ideologi Pancasila Peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pada 3 Juli 2020 lalu, Mahkamah Agung (MA) mengunggah hasil putusannya yang bisa menimbulkan kembali polemik tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu.
Keputusan tersebut sesungguhnya bukan keputusan yang baru kemarin, namum baru dipublikasikan dalam website resmi MA pada 3 Juli lalu. Putusan Mahkamah Agung No 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober 2019 itu berpotensi menimbulkan polemik mengenai keabsahan hasil Pilpres 2019.
Intinya putusan itu menganggap Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pangkal persoalannya mengenai pasangan capres-cawapres yang hanya dua orang. Peraturan KPU mengisi celah ruang kosong yang tidak diatur oleh UU Pemilu. Sehingga tanpa perlu ada putaran kedua dan tanpa perlu mempertimbangkan syarat kemenangan suara dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia,
KPU menetapkan pasangan capres-cawapres dengan suara terbanyak sebagai pemenangnya. Aturan ini ternyata dibatalkan oleh MA.
Polemik tidak bisa dilantik nya Jokowi sebagai yang dimenangkan pilpres oleh KPU. Ternyata tidak serta merta bisa dilantik sebab telah berhadapan dengan UUD 1945.
Mau direkayasa bagaimanapun jelas tidak mungkin. Kecuali dengan mengganti, mengganti negara hukum menjadi negara kekuasaan apakah mungkin ? ternyata UUD 1945 ditabrak dan ditafsir lain oleh KPU .
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 berbunyi:
(i) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum; dan
(ii) dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Di atas adalah amandamen UUD 1945 pasal tentang pemilihan presiden/wakil presiden.
Melihat butir 2, secara implisit dapat dikatakan Jokowi belum bisa dinyatakan pemenang karena tidak suara terbanyak 17 propinsi, dan ada beberapa propinsi perolehan suara kurang dari 20%.
Ada yang berpendapat dan sudah diputuskan oleh MK melalui gugatan seseorang, bahwa butir dua pasal 6A ayat 3 tidak berlaku jika paslon cuma dua.
Kalau betul MK telah memutus sesuai paragraf di atas, keputusan MK sah, tanpa merubah isi dan norma dari pasal-pasal tersebut? Kalau sah berarti kedudukan MK di atas UUD 1945. Sedang yang berhak mengamandemen UUD 1945 adalah MPR.
Kalau begitu, kedudukan MK di atas UUD 1945.
1. Berikut petikan berita, bahwa MK tidak berhak merubah UUD 1945. Catat! UUD 1945 bukan UU.
Detik.com 5 Maret 2014 berjudul “Bisakah UUD 1945 Diubah oleh MK? Ini Jawaban Calon Hakim Konstitusi”
Calon hakim konstitusi Yohannes Usfunan mendapat giliran terakhir dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR. Ia mendapat pertanyaan tentang bisa atau tidaknya UUD 1945 diubah oleh hakim MK atau tidak.
“Bisa tidak hakim MK mengubah UUD 1945?” tanya anggota tim pakar Saldi Isra di Gedung DPR, Senayan, Jakpus, Rabu (5/3/2014).
Yohannes lalu menjawab bahwa menurut pasal 37 UUD 1945, pengubahan bisa dilakukan dan diserahkan kepada MPR, bukan MK. Saldi yang tak puas kembali mencecar Yohannes.
“Secara teoritis bagaimana? Bisa tidak MK mengubah UUD 1945?” tanya Saldi lagi.
“Secara diam-diam bisa, secara implisit bisa ada perubahan. Tapi secara formal tidak bisa karena itu wewenang MPR,” jawab Yohannes. Jawabannya itu memunculkan pertanyaan dari Saldi.
“Bagaimana itu caranya diam-diam?” tanya Saldi sambil menahan tawa.
“Maksudnya implisit. Suatu putusan mengubah UU,” jawab Yohannes yang langsung dipotong Saldi.
“UUD lho, bukan UU,” katanya tegas.
“Berarti tidak boleh. Saya tidak temukan teorinya,” jawab Yohannes yang kemudian kembali dicecar Saldi.
“Bapak sudah baca buku Konstitusi-Konstitusi Modern dari K.C Wheare?” tanya Saldi. Ternyata Yohannes belum membacanya.
“Lho, itu kitab yang harus dibaca!” kata Saldi mengeluhkan Yohannes.
Komisi III melaksanakan fit and proper test untuk calon hakim MK sejak Senin (3/3) hingga hari ini dengan didampingi 8 orang tim pakar. Sebanyak 11 orang calon hakim diseleksi untuk mencari pengganti Akil Mochtar yang ditangkap KPK dan Harjono yang akan pensiun.
Semakin rumit pilpres kali ini mangkanya Jokowi berbalik arah untuk menggandeng Prabowo. Mengapa? memang disamping tidak mempunyai legitimasi, juga tidak bisa dilantik tanpa power sharing dengan Prabowo.
Jika mengacu pada pilpres harusnya Prabowo yang menang. Sebab persyaratan menang tercukupi tapi sayang di rekayasa untuk kalah oleh KPU.
Tetapi ternyata ada persoalan yang lebih urgent dibanding dengan sekedar memenangkan angka dengan kecurangan TSM.
Rupanya “becik ketitik oloh ketoro” berlaku dalam hukum pilpres. “Becik Ketitik Olo Ketoro“ berarti segala sesuatu perbuatan yang baik pasti akan menuai kebaikan, dan setiap perbuatan buruk dan jahat akan terkuak dikemudian.
Sopo Sing Salah Bakal Saleh = orang yang berbuat salah akan memetik buah jeleknya. Lama kelamaan perbuatan itu akan ketahuan pula.
Jadi kecurang yang dilakukan secara terstruktur, tersistem dan masif akan terbuka walau ditutup-tutupi. “Gusti Alloh mboten sare”. Ungkapan nasehat yang sederhana ini adalah ungkapan keikhlasan terhadap keadaan ungkapan pasrah dengan ikhlas. Tentu tidak ada didunia ini tanpa sepengetahuan sang khaliq termasuk sehelai daun yang jatuh.
Putusan MA tertanggal 28 Oktober ini tidak berlaku surut (non-retroaktif). Keputusan KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang itu tanggal 30 Juni 2019. Empat bulan sebelum adanya putusan MA. Kalau kita mendalami hal ini tentu semakin tidak ada nya kepastian hukum apa betul keputusan KPU itu tidak bisa dianulir oleh MA .Kalau begitu apa KPU lebih tinggi dari pada MA tambah ruwet .
Repotnya, Pasal 416 UU7/2017 itu merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Artinya, ada kemungkinan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), selama Pasal 6A UUD 1945 tidak diamandemen untuk mengakomodasi Pilpres hanya diikuti 2 pasangan.
Tapi celah itu sudah tertutup sebenarnya dengan adanya dua putusan MK masing-masing No. 50/PUU-XII/2014 dan No. 39/PUU-XVII/2019.apakah MK bisa merubah norma yang ada di UUD 1945 ?
Disinilah terjadi dua Matahari Hukum di negeri ini sebab antara MA dan MK mempunyai keputusan hukum yang berbeda terlepas dari argumen hukum berbagai pakar , tetapi terjadi nya dua Matahari Hukum ini berpotensi menjadi keruwetan dan ketidak pastian hukum bagi pencari keadilan
Apakah Makamah Konstitusi lebih rendah dibanding Makamah Agung ? atau sebalik nya Makamah Konstitusi lebih tinggi dari Makamah Agung , atau Makamah Konstitusi dan Makamah Agung sederajat .Maka potensi kerancuan hukum dan ketidak pastian hukum akan terjadi , seharus nya Makamah Konstitusi itu bagian dari Makamah Agung jadi tidak berdiri sendiri .Belum lagi Persoalan KPU apakah Makamah Agung tidak bisa membatalkan keputusan KPU ? Jika tidak ada perbaikan sistem maka Indonesia akan terancam terjadi ketidak pastian hukum .
“Ini artinya putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU itu bukan soal logis atau tidak logis tetapi juga berbeda dengan penafsiran MK di kedua putusannya tahun 2014 dan 2019,” yang tentu saja membuat mata kita semakin terbuka bahwa amandemen UUD 1945 ternyata berimplikasi lahir nya dua Matahari kembar di lembaga hukum yang tentu saja semakin tidak jelas untuk mencari keadilan hukum . P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober 2019 itu berpotensi menimbulkan polemik mengenai keabsahan hasil Pilpres 2019.
Intinya putusan itu menganggap Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pangkal persoalannya mengenai pasangan capres-cawapres yang hanya dua orang. Peraturan KPU mengisi celah ruang kosong yang tidak diatur oleh UU Pemilu. Sehingga tanpa perlu ada putaran kedua dan tanpa perlu mempertimbangkan syarat kemenangan suara dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia,
KPU menetapkan pasangan capres-cawapres dengan suara terbanyak sebagai pemenangnya. Aturan ini ternyata dibatalkan oleh MA.
Polemik tidak bisa dilantik nya Jokowi sebagai yang dimenangkan pilpres oleh KPU. Ternyata tidak serta merta bisa dilantik sebab telah berhadapan dengan UUD 1945.
Mau direkayasa bagaimanapun jelas tidak mungkin. Kecuali dengan mengganti, mengganti negara hukum menjadi negara kekuasaan apakah mungkin ? ternyata UUD 1945 ditabrak dan ditafsir lain oleh KPU .
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 berbunyi:
(i) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum; dan
(ii) dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Di atas adalah amandamen UUD 1945 pasal tentang pemilihan presiden/wakil presiden.
Melihat butir 2, secara implisit dapat dikatakan Jokowi belum bisa dinyatakan pemenang karena tidak suara terbanyak 17 propinsi, dan ada beberapa propinsi perolehan suara kurang dari 20%.
Ada yang berpendapat dan sudah diputuskan oleh MK melalui gugatan seseorang, bahwa butir dua pasal 6A ayat 3 tidak berlaku jika paslon cuma dua.
Kalau betul MK telah memutus sesuai paragraf di atas, keputusan MK sah, tanpa merubah isi dan norma dari pasal-pasal tersebut? Kalau sah berarti kedudukan MK di atas UUD 1945. Sedang yang berhak mengamandemen UUD 1945 adalah MPR.
Kalau begitu, kedudukan MK di atas UUD 1945.
1. Berikut petikan berita, bahwa MK tidak berhak merubah UUD 1945. Catat! UUD 1945 bukan UU.
Detik.com 5 Maret 2014 berjudul “Bisakah UUD 1945 Diubah oleh MK? Ini Jawaban Calon Hakim Konstitusi”
Calon hakim konstitusi Yohannes Usfunan mendapat giliran terakhir dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR. Ia mendapat pertanyaan tentang bisa atau tidaknya UUD 1945 diubah oleh hakim MK atau tidak.
“Bisa tidak hakim MK mengubah UUD 1945?” tanya anggota tim pakar Saldi Isra di Gedung DPR, Senayan, Jakpus, Rabu (5/3/2014).
Yohannes lalu menjawab bahwa menurut pasal 37 UUD 1945, pengubahan bisa dilakukan dan diserahkan kepada MPR, bukan MK. Saldi yang tak puas kembali mencecar Yohannes.
“Secara teoritis bagaimana? Bisa tidak MK mengubah UUD 1945?” tanya Saldi lagi.
“Secara diam-diam bisa, secara implisit bisa ada perubahan. Tapi secara formal tidak bisa karena itu wewenang MPR,” jawab Yohannes. Jawabannya itu memunculkan pertanyaan dari Saldi.
“Bagaimana itu caranya diam-diam?” tanya Saldi sambil menahan tawa.
“Maksudnya implisit. Suatu putusan mengubah UU,” jawab Yohannes yang langsung dipotong Saldi.
“UUD lho, bukan UU,” katanya tegas.
“Berarti tidak boleh. Saya tidak temukan teorinya,” jawab Yohannes yang kemudian kembali dicecar Saldi.
“Bapak sudah baca buku Konstitusi-Konstitusi Modern dari K.C Wheare?” tanya Saldi. Ternyata Yohannes belum membacanya.
“Lho, itu kitab yang harus dibaca!” kata Saldi mengeluhkan Yohannes.
Komisi III melaksanakan fit and proper test untuk calon hakim MK sejak Senin (3/3) hingga hari ini dengan didampingi 8 orang tim pakar. Sebanyak 11 orang calon hakim diseleksi untuk mencari pengganti Akil Mochtar yang ditangkap KPK dan Harjono yang akan pensiun.
Semakin rumit pilpres kali ini mangkanya Jokowi berbalik arah untuk menggandeng Prabowo. Mengapa? memang disamping tidak mempunyai legitimasi, juga tidak bisa dilantik tanpa power sharing dengan Prabowo.
Jika mengacu pada pilpres harusnya Prabowo yang menang. Sebab persyaratan menang tercukupi tapi sayang di rekayasa untuk kalah oleh KPU. Tetapi ternyata ada persoalan yang lebih urgent dibanding dengan sekedar memenangkan angka dengan kecurangan TSM.
Rupanya “becik ketitik oloh ketoro” berlaku dalam hukum pilpres. “Becik Ketitik Olo Ketoro“ berarti segala sesuatu perbuatan yang baik pasti akan menuai kebaikan, dan setiap perbuatan buruk dan jahat akan terkuak dikemudian.
Sopo Sing Salah Bakal Saleh = orang yang berbuat salah akan memetik buah jeleknya. Lama kelamaan perbuatan itu akan ketahuan pula.
Jadi kecurang yang dilakukan secara terstruktur, tersistem dan masif akan terbuka walau ditutup-tutupi. “Gusti Alloh mboten sare”. Ungkapan nasehat yang sederhana ini adalah ungkapan keikhlasan terhadap keadaan ungkapan pasrah dengan ikhlas. Tentu tidak ada didunia ini tanpa sepengetahuan sang khaliq termasuk sehelai daun yang jatuh.
Putusan MA tertanggal 28 Oktober ini tidak berlaku surut (non-retroaktif). Keputusan KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang itu tanggal 30 Juni 2019. Empat bulan sebelum adanya putusan MA. Kalau kita mendalami hal ini tentu semakin tidak ada nya kepastian hukum apa betul keputusan KPU itu tidak bisa dianulir oleh MA .Kalau begitu apa KPU lebih tinggi dari pada MA tambah ruwet .
Repotnya, Pasal 416 UU7/2017 itu merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Artinya, ada kemungkinan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), selama Pasal 6A UUD 1945 tidak diamandemen untuk mengakomodasi Pilpres hanya diikuti 2 pasangan.
Tapi celah itu sudah tertutup sebenarnya dengan adanya dua putusan MK masing-masing No. 50/PUU-XII/2014 dan No. 39/PUU-XVII/2019.apakah MK bisa merubah norma yang ada di UUD 1945 ?
Disinilah terjadi dua Matahari Hukum di negeri ini sebab, antara MA dan MK mempunyai keputusan hukum yang berbeda. Terlepas dari argumen hukum berbagai pakar , tetapi terjadi nya dua Matahari Hukum ini berpotensi menjadi keruwetan dan ketidak pastian hukum bagi pencari keadilan
Apakah Makamah Konstitusi lebih rendah dibanding Makamah Agung ? atau sebalik nya Makamah Konstitusi lebih tinggi dari Makamah Agung , atau Makamah Konstitusi dan Makamah Agung sederajat .Maka potensi kerancuan hukum dan ketidak pastian hukum akan terjadi , seharus nya Makamah Konstitusi itu bagian dari Makamah Agung jadi tidak berdiri sendiri .Belum lagi Persoalan KPU apakah Makamah Agung tidak bisa membatalkan keputusan KPU ? Jika tidak ada perbaikan sistem maka Indonesia akan terancam terjadi ketidak pastian hukum .
“Ini artinya putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU itu bukan soal logis atau tidak logis tetapi juga berbeda dengan penafsiran MK di kedua putusannya tahun 2014 dan 2019,” yang tentu saja membuat mata kita semakin terbuka bahwa amandemen UUD 1945 ternyata berimplikasi lahir nya dua Matahari kembar di lembaga hukum yang tentu saja semakin tidak jelas untuk mencari keadilan hukum.
(C San/ Prihand).
View
إرسال تعليق
Hi Please, Do not Spam in Comments