BPIP Harus Merekontruksi Belajar Dari Sejarah Bangsa


      Ir . Prihandoyo Kuswanto

Jawapes Surabaya - SETELAH MEMBENTURKAN AGAMA DENGAN PANCASILA SEKARANG KITAB SUCI DENGAN KONSTITUSI .

SEBAIK NYA BPIP MEREKONTRUKSI PEMIKIRAN NYA BELAJARLAH DARI SEJARAH BANGSA.

Pancasila itu dari awal nya memang religius dan tidak mungkin bisa mewadahi yang sekuler kalau kepala BPIP pikiran nya tidak berlandaskan cor Pancasila Ke Tuhanan Yang Maha Esa ,maka semua elemen bangsa harus bergerak meluruskan kembali Ideologi Pancasila sebagai 
Tulisan saya sebelum ini sudah menganalisis bahwa sekulerisasi Pancasila itu semakin nyata dan gamblang jadi negara ini sudah a historis ,sudah tidak lagi mengakui kemerdekaan Indonesia berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa .

Sebagai bangsa,sebagai rakyat dan sebagai organisasi Islam NU ,MUHAMMADYAH ,SYAREKAT ISLAM ,PERSIS,Apa akan membiarkan negara yang telah diperjuangkan oleh para ulama dan pendiri negeri ini dijauhkan dari nilai nilai Agama ? Nilai -nilai Ketuhanan ? 

Bagi umat Islam, landasan Sila Pertama Pancasila sangat jelas sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Ikhlas ayat 1-4 , yang artinya, 
1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. 
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. 
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.

Dalam Tafsir Al-Azhar, Ayat 1 Surat Al-Ikhlas, Buya Hamka menyatakan bahwa Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu Allah nama-Nya. 
Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia. Pengakuan atas Kesatuan, atau Keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan dan nama-Nya ialah Allah, kepercayaan itulah yang dinamai Tauhid. 
Berarti menyusun fikiran yang suci murni, tulus ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu. 

Sebab pusat kepercayaan di dalam pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada Satu.
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sumber sandaran gerak laku dan langkah. Sebagai hamba Tuhan, kesadaran bahwa Tuhan itu Esa, seyogianya memunculkan kesadaran yang sesadar-sadarnya bahwa manusia itu berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tidak akan ke mana-mana. Maka gerak laku lampah kita, seluruhnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik. Baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan manusia dan alam semesta. Tidak terkecuali.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang faktanya dihadapkan pada keragaman etnis, agama, golongan, maupun budaya, maka menghormati orang lain yang berbeda adalah pancaran nilai-nilai Ketuhanan. 
Karena pada dasarnya dan senyatanya, semua yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya. 

Keharmonisan hubungan antar manusia, antar warga negara, tentu jangan berhenti pada tataran lahiriah semata, namun harus menusuk sampai ke batin. Nilai-nilai Ketuhanan harus memancar dalam seluruh aspek kehidupan.

Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang dipahami sudut Islam sebagai Tauhid, adalah sebagai dasar moral sedangkan tujuannya adalah Keadilan Sosial. 

Membaca pendapat Cak Nur, maka dapat dimaknai bahwa jika yang terjadi “Ketidakadilan Sosial” maka sesungguhnya “belum bertuhan” secara benar. Karena Tuhan itu Maha Adil.

Pada sisi lain, Yudi Latif (2011) berpendapat bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa ialah ketuhanan yang tidak hanya mengusahakan kehidupan bersama yang lebih baik melalui pancaran cahaya agama, namun sekaligus juga penghormatan terhadap eksistensi agama-agama yang lain.
Disini bisa kita rasakan pemikiran prof Yudi Latif yang mundur dari kepala BPIP bisa jadi Prof  Yudi Latif mendapat tekanan untuk mensekulerkan Pancasila memisakan Pancasila dengan agama ini kan bisa dibuktikan dengan pengganti nya Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi yang membenturkan Pancasila dengan Agama ,sebagai kepala BPIP justru seharus nya praktek dulu dalam ber Pancasila. Dengan menjaga keharmonisan mempraktekan.Sila Persatuan Indonesia bukan nya membuat pernyataan yang tidak.sesuai dengan Pancasila ,membuat ketidak harmonisan sesama umat beragama adalah bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila .
Memoertentangkan antara agama dengan Pancasila merupakan bentuk ketidak pahaman padahal bung Karno mengatakan Ke zTuhanan Yang Maha Esa itu adalah leitstar dinamis bagi bangsa ini Bintang penunjuk arah ,bagaimana dengan pikiran Jokowi memisakan agama dengan politik kenegaraan.tentu bertentangan dengan Pancasila sebab Ketuhanan Yang Maha Esa itu Core Pancasila 
Orang yang percaya kepada Tuhan pasti berperikemanusiaan. Orang yang percaya kepada Tuhan pasti mempertahankan persatuan Indonesia, pasti melakukan keadilan sosial, karena dia beriman kepada Tuhan. Sebab Persatuan Indonesia itu adalah janji kita sebagai bangsa yang sadar.” (Disampaikan HAMKA sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, pada pertemuan dengan Wanhankammas tanggal 25 Agustus 1976, 
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat tunggang atau akar tujuan dari Pancasila dan bangsa Indonesia, sedangkan keempat sila lainnya adalah akibat dari sila pertama. Hamka misalnya menjelaskan, kemanusiaan adalah hasil yang timbul secara sadar dari keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan ia mengkritik berbagai teori tentang peri-kemanusiaan yang tidak dapat dijamin kejujurannya, selama tidak didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab kemanusiaan dalam pandangan ummat yang Berketuhanan Yang Maha Esa adalah ditentukan dari ketaqwaannya. Bukan karena kepentingan ras, suku, pangkat atau jabatannya.
Hamka berkesimpulan dan menyarankan bahwa Pancasila sebagai Falsafah Negara Indonesia, akan hidup dengan subur dan terjamin, jika sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahami agamanya, sehingga ia menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh perbuatan hidupnya. Dan tidaklah ada menurut Hamka, suatu agama ataupun ideologi lain yang dapat menjamin kesuburan Pancasila di Indonesia, melainkan Islam.
Dikutip oleh Hamka apa yang pernah diucapkan oleh Bung Karno pada saat pertemuan Pegawai-pegawai Kementerian Penerangan pada tanggal 28 Maret 1952.

 “Pancasila itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sejak lahirnya Sarikat Islam yang dipelopori oleh Almarhum H.O.S. Tjokroaminoto…” 
Hamka lalu menambahkan:
Ahmad Tafsir (1982) menyatakan bahwa sesungguhnya Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah core Pancasila. Atas dasar itulah, Maneger Nasution (2015) menegaskan bahwa bila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah core Pancasila, (dan memang ya), maka seluruh turunannya (UUD 1945, UU, PP, SKM, JUKNIS) haruslah menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai core.

Beberapa pandangan di atas tentu buah dari pengkhidmatan yang mendalam atas “tafsir” Pancasila, khususnya sila pertama yang menjadi “titik berangkat” bagi sila-sila selanjutnya. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi penerang bagi terciptanya kehidupan kemanusiaan yang penuh keadaban, juga kehidupan yang “menyatu” dalam bingkai Indonesia, bagi pemufakatan kebajikan, dan terwujudnya keadilan sosial. Jiwa Pancasila akan melahirkan hikmah dan kebijaksanaan. Jiwa ini pun tak akan berhenti berjuang untuk menggapai keadilan sosial.       
Dalam sebuah kursus Pancasila tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Bung Karno memberikan kalimat penutup, 
 “... Dan formulering Tuhan Yang Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya. 

Kalau tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu Leidstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah menjadi Leidstar yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu Leidstar dinamis menuntut kepada kita supaya elemen Ketuhanan ini dimasukkan. Dan itulah sebabnya maka di dalam Pancasila elemen Ketuhanan ini dimasukan dengan nyata dan tegas.

Bung Karno menempatkan Ketuhanan sebagai Leidstar, Bintang Pemimpin. Jika sila Ketuhanan diabaikan, ditiadakan, maka hilanglah Pancaran Utama itu. Kepercayaan kepada Tuhan, tiada lain hanya untuk mengejar kebajikan, untuk menemukan keutamaan.
Bung Karno dan para pendahulu negeri ini berpikir jauh ke depan, menembus batas keraguan, dengan tegas membalut-mengikat sila-sila Pancasila dengan nilai-nilai Ketuhanan. Atas dasar itulah, maka tiada tempat di Indonesia bagi warga bangsa yang dirinya mengaku tidak bertuhan!

@prihandoyo kuswanto 
ketua rumah pancasila.
(C San).

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama