Surabaya – Kota Surabaya dikenal sebagai kota metropolitan dengan APBD besar dan fasilitas pendidikan lengkap. Namun di balik gemerlapnya, ada fakta pahit yang mencabik hati. Sebanyak 12.517 anak di Surabaya tercatat putus sekolah menurut data Kementerian Pendidikan tahun 2024.
Kemiskinan menjadi penyebab utama. Walau sekolah negeri tidak memungut biaya, keluarga miskin tetap terbebani kebutuhan seragam, buku, transportasi, dan uang saku. Banyak anak akhirnya memilih bekerja sebagai buruh pabrik, pekerja informal, atau ojek online daripada melanjutkan sekolah.
Kesenjangan sosial di kota besar memperlebar jurang. Anak dari keluarga prasejahtera sering kehilangan motivasi bahkan merasa sekolah hanyalah mimpi yang tidak bisa mereka capai. Kondisi ini memunculkan kritik tajam Praktisi Pendidikan dari Dewan Pendiri Jaringan Warga Peduli Sosial (Jawapes) Indonesia, Rizal Diansyah Soesanto ST CPLA, yang menyebut kegagalan ini cermin lemahnya kebijakan pendidikan Surabaya.
“Surabaya ini kota besar dengan APBD yang kuat, tapi masih ada ribuan anak yang tidak sekolah. Ini menunjukkan kebijakan wajib belajar 12 tahun hanya sebatas jargon tanpa pengawasan ketat di lapangan. Pemerintah tidak boleh hanya bangga dengan gedung sekolah megah, tetapi mengabaikan anak-anak miskin yang terpaksa putus sekolah,” tegas Rizal, Minggu (7/9/2025) saat ditemui media di Graha Jawapes Surabaya.
Ia menegaskan, solusi sederhana sebenarnya sudah ada. Pemkot memiliki database masyarakat miskin yang lengkap di Dinas Sosial. Seharusnya Dinas Pendidikan memfasilitasi semua anak dari keluarga miskin agar bisa bersekolah. Mereka jelas tidak mampu sekolah swasta, dan bila tidak diterima di negeri, bisa dipastikan akhirnya mereka tidak sekolah.
Menurut Rizal, data yang ada harus segera diterjemahkan menjadi aksi nyata. APBD pendidikan harus diarahkan pada kebutuhan riil siswa miskin, bukan hanya pembangunan fisik. Pemerintah perlu memastikan anak yang sudah putus sekolah mendapat jalur alternatif seperti kejar paket dan SKB, serta memberikan pendampingan sosial agar anak tidak lebih memilih bekerja di jalanan.
Fakta 12 ribu anak Surabaya putus sekolah adalah ironi yang tidak boleh dibiarkan. Jika pemerintah kota berani berpihak dan melibatkan kerja sama lintas sektor, Surabaya seharusnya mampu menjadi pelopor kota tanpa anak putus sekolah di Indonesia. “Kalau pemerintah mau sederhana dan berpihak, sebenarnya masalah putus sekolah bisa diselesaikan lebih cepat. Jangan biarkan anak-anak miskin Surabaya kehilangan masa depannya hanya karena sistem yang tidak berpihak,” tutup Rizal. (Red)
View
Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments