Jawapes Surabaya,– Ratusan buruh PT. Pabrik Kertas Indonesia (PAKERIN) kembali turun ke jalan. Aksi yang berlangsung di depan kantor pusat perusahaan di Jalan Kertopaten, Surabaya, hari ini, nyaris melumpuhkan akses jalan karena aparat kepolisian terpaksa menutup total lalu lintas di sekitar lokasi demo, 29 April 2025
Gelombang kemarahan buruh ini bukan tanpa sebab. Setelah aksi serupa yang digelar pada 26 Maret 2025 dan sempat difasilitasi oleh Komisi IV DPRD Kabupaten Mojokerto, manajemen PT. PAKERIN tak kunjung menunjukkan itikad baik. Buruh menuntut hak dasar mereka: gaji penuh, THR, dan kepastian kerja. Namun yang diterima justru ketidakjelasan dan ancaman pemutusan hubungan kerja massal.
Para buruh mengaku hanya menerima 10% dari gaji mereka, sementara Tunjangan Hari Raya (THR) 2025 tidak dibayarkan sepenuhnya. Padahal, perusahaan masih beroperasi sebagian dan tidak secara resmi menyatakan pailit. Situasi ini menambah beban ekonomi para pekerja yang sebagian besar adalah tulang punggung keluarga.
Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Mojokerto, M. Agus Fauzan, menyatakan bahwa persoalan ini tidak boleh dianggap remeh. “Ini menyangkut hajat hidup pekerja, keluarga mereka, serta stabilitas sosial dan ekonomi di wilayah kita. Kami minta kepada Disnaker dan Pengawas Ketenagakerjaan untuk menindaklanjuti secara konkret. Jika ditemukan pelanggaran, harus ada tindakan tegas sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya.
Dalam aksinya, buruh dari berbagai serikat seperti FSPMI dan KAHUTINDO menyuarakan empat tuntutan utama:
• Operasikan kembali PT. PAKERIN
• Jalankan putusan Mahkamah Republik Indonesia tentang legal standing pimpinan perusahaan
• Bayar kekurangan upah dan THR tahun 2025 100%
• Bayar seluruh hak normatif karyawan yang tertunda
Hingga siang ini, perwakilan buruh masih berupaya melakukan negosiasi dengan manajemen, namun belum menghasilkan kesepakatan apa pun.
Sumber internal perusahaan menyebut, gonjang-ganjing ini diduga kuat akibat konflik internal keluarga pemilik perusahaan terkait pembagian aset. Konflik ini menyeret nasib ribuan pekerja ke dalam ketidakpastian, seolah buruh menjadi korban “perang warisan”.
Ketika para buruh harus berjuang di jalanan demi hak dasarnya, kita tak bisa hanya diam. Persoalan ini bukan hanya milik mereka, tapi juga mencerminkan wajah buram perlindungan tenaga kerja di negeri ini. Jika suara mereka tak didengar, maka kita yang harus ikut menyuarakannya. Agar keadilan ditegakkan. Karena membela buruh berarti membela kemanusiaan.
(Abrar)
Pembaca
Posting Komentar