![]() |
Dok: Unit kendaraan saat disita dengan surat Tilang dan status rincian e- Tilang. |
Jawapes Surabaya – Kasus pelepasan mobil Daihatsu Sigra dengan pelat palsu yang sempat disita oleh Satlantas Polrestabes Surabaya terus menjadi sorotan. Setelah viral di media sosial pada 15 Maret 2025, berbagai pihak mempertanyakan keabsahan tindakan kepolisian dalam mengembalikan kendaraan tersebut kepada pemiliknya. Dugaan adanya suap semakin menguat setelah upaya konfirmasi kepada pihak berwenang tidak mendapatkan respons yang memadai.
Hingga saat ini, Kasat Lantas Polrestabes Surabaya, AKBP Herdiawan Arifianto, S.H., S.I.K., M.H., masih enggan memberikan pernyataan terkait kasus ini. Sikap diam serupa juga ditunjukkan oleh Propam Polrestabes Surabaya, yang seharusnya bertindak sebagai pengawas dan penegak disiplin internal kepolisian. Ketidakterbukaan ini justru memicu spekulasi bahwa ada sesuatu yang tengah disembunyikan dari publik.
Menurut seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya, mobil tersebut awalnya memang seharusnya disita karena menggunakan pelat nomor yang tidak sesuai dengan surat-surat kendaraan. Namun, setelah beberapa hari, kendaraan tersebut dilepas kembali dengan alasan bahwa dokumen kepemilikan sudah diverifikasi. "Kami mendengar ada transaksi sejumlah uang sebelum mobil itu dikembalikan. Itu bukan hal baru di institusi ini," ujar sumber tersebut.
Lebih lanjut, fakta bahwa kendaraan tersebut masih memiliki tunggakan di Adira Finance semakin memperkuat indikasi adanya pelanggaran hukum yang sengaja diabaikan. Jika benar bahwa pelat nomor palsu digunakan untuk menghindari penyitaan akibat tunggakan, maka seharusnya aparat tidak hanya menilang, tetapi juga membawa kasus ini ke ranah pidana berdasarkan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen.
Dalam konteks hukum, pelepasan kendaraan yang diduga melibatkan suap dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayangnya, meskipun bukti dan kesaksian sudah mencuat, belum ada tanda-tanda tindakan konkret dari pihak kepolisian.
Masyarakat kini menunggu apakah institusi kepolisian berani mengambil langkah transparan untuk mengungkap kebenaran, atau justru memilih menutupi kasus ini demi melindungi oknum-oknum tertentu. Jika Polrestabes Surabaya tidak segera memberikan klarifikasi, kepercayaan publik terhadap integritas kepolisian akan semakin tergerus.
Pertanyaannya, sampai kapan praktik semacam ini akan terus terjadi tanpa konsekuensi? Jika hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, maka tidak mengherankan jika kasus-kasus serupa akan terus berulang di masa mendatang. Publik berhak mendapatkan jawaban yang jujur dan tindakan yang tegas dari aparat penegak hukum.
Sementara itu, Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol. Dr. Luthfie Sulistiawan, S.I.K., M.H., M.Si., saat dikonfirmasi terkait berita yang sudah tayang, juga memilih untuk tidak mengindahkan permintaan klarifikasi. Sikap bungkam dari pucuk pimpinan kepolisian di Surabaya ini semakin menambah kecurigaan bahwa ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi dalam kasus ini. (Red/fai)
Pembaca
Posting Komentar