Jawapes Surabaya – Polemik keberadaan tower telekomunikasi di atas rumah milik Mevi, yang berlokasi di Jalan Pakis 27 RT 04 RW 03, Kelurahan Pakis, Kecamatan Sawahan, Surabaya, hingga kini masih belum menemui titik terang. Warga sekitar merasa resah karena tidak ada transparansi mengenai perpanjangan kontrak tower tersebut, meski masa kontraknya telah berakhir sejak 25 Januari 2025.
Ketua RT setempat, Robi, mengungkapkan bahwa tower tersebut telah berdiri selama sekitar 20 tahun, tetapi kontrak antara pemilik rumah dan pihak penyedia tower tidak pernah disosialisasikan secara terbuka kepada warga.
"Saya tidak tahu pasti bagaimana kontraknya. Yang jelas, masa berlaku kontraknya sudah habis sejak 25 Januari 2025, tapi tower masih beroperasi tanpa ada kejelasan apakah diperpanjang atau tidak," ujar Robi.
Kompensasi Tidak Merata, Warga Menolak Perpanjangan dan salah satu pemicu ketegangan adalah masalah kompensasi dari pihak penyedia tower. Sejumlah warga menilai bahwa kompensasi yang seharusnya diberikan kepada lingkungan hanya dinikmati oleh segelintir orang, bukan semua warga terdampak.
"Polling yang dilakukan di lingkungan menunjukkan mayoritas warga menolak perpanjangan kontrak, karena sejak 2019 tidak ada kejelasan soal dampak lingkungan maupun kompensasi. Jika tower masih ingin beroperasi, hak warga harus dipenuhi. Jika tidak, tower harus diturunkan," tegas Robi.
Warga juga mengeluhkan kurangnya transparansi dari pihak pengelola tower. Beberapa kali pertemuan telah dilakukan, tetapi tidak ada jawaban memuaskan dari pemilik rumah maupun pihak perusahaan terkait.
![]() |
Dok: Kelurahan dan Satpol PP Turun ke Lapangan, Tapi Respons Minim |
Melihat polemik yang tak kunjung selesai, pihak Kelurahan Pakis yang dipimpin oleh Bu Lurah Novi akhirnya turun ke lokasi bersama perwakilan Satpol PP untuk mengecek langsung kondisi tower. Namun, alih-alih memberikan solusi konkret, warga justru diminta untuk membuat pengaduan resmi tertulis ke RT sebelum diteruskan ke pihak berwenang.
Upaya konfirmasi dari media kepada pihak kelurahan juga tidak membuahkan hasil. Saat awak media mendatangi kantor kelurahan untuk menemui Bu Lurah, mereka hanya ditemui staf yang mengatakan bahwa Bu Lurah sedang tidak ada di tempat.
Hal ini menimbulkan kekecewaan warga yang berharap adanya transparansi dan keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan mereka.
Selain ke kelurahan, awak media juga mencoba meminta konfirmasi dari kantor pengelola tower yang berlokasi di Jalan Opak No. 32, Darmo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya. Namun, saat tiba di lokasi, mereka hanya disambut oleh petugas keamanan yang menyatakan bahwa pihak manajemen sedang berada di Sidoarjo dan tidak dapat ditemui.
Ketidaksiapan pihak perusahaan untuk memberikan klarifikasi semakin menguatkan dugaan bahwa ada ketidakberesan dalam pengelolaan tower ini.
Saat ini, warga menuntut dua hal utama:
1. Transparansi kontrak – Jika kontrak akan diperpanjang, pihak perusahaan harus menjelaskan secara terbuka kepada warga mengenai dampaknya serta kompensasi yang merata.
2. Penertiban tower – Jika kontrak tidak diperpanjang, maka tower harus segera dibongkar untuk menghormati keputusan mayoritas warga.
Kisruh ini menunjukkan perlunya pengawasan lebih ketat dari pemerintah terhadap keberadaan tower-tower telekomunikasi di permukiman. Jangan sampai kepentingan bisnis mengabaikan hak-hak warga yang terdampak.
Polemik ini juga menjadi ujian bagi pemerintah kota Surabaya yang mengusung slogan "Surabaya Hebat" – Humanis, Efektif, Berakhlak, Akuntabel, dan Transparan. Jika prinsip transparansi benar-benar dijalankan, seharusnya tidak sulit bagi pihak terkait untuk memberikan kejelasan kepada warga yang berhak mengetahui nasib lingkungannya.
Akan seperti apa kelanjutan polemik ini? Warga berharap ada tindakan nyata, bukan sekadar janji.
(Rd82)
Pembaca
Posting Komentar