Jawapes Jakarta,- Setiap tanggal 26 Juni, dunia memperingati Hari Narkotika Internasional. Tapi tahun ini, kita tidak sekadar memperingati, kita seharusnya merenung. Di Indonesia, pendekatan terhadap persoalan narkotika masih terjebak dalam pola lama yang keras, kaku, dan menghukum. Istilah "perang terhadap narkoba" seolah menjadi mantra tetap negara. Namun, apakah perang ini benar-benar berhasil.
Data menunjukkan bahwa bukan para bandar besar yang memenuhi penjara, melainkan para pengguna. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per Juni 2025, jumlah penghuni Rutan dan Lapas mencapai 268.718 orang—hampir dua kali lipat dari kapasitas aslinya yang hanya 138.128 orang. Ironisnya, lebih dari 52% di antaranya adalah tahanan kasus narkotika. Dari jumlah itu, lebih dari 140 ribu orang adalah pengguna, bukan pengedar apalagi bandar.
"Jika yang dipenjara adalah pengguna, lalu siapa yang kita perangi”.
Mengkriminalkan pengguna narkotika bukan hanya tidak efektif, tetapi juga merampas hak mereka untuk mendapatkan perawatan, pendampingan, dan kesempatan pulih. Mereka yang butuh bantuan justru dilempar ke penjara, bercampur dengan pelaku kriminal lain. Hasilnya. Bukan rehabilitasi, melainkan pengabaian.
Revisi Undang-Undang Narkotika seharusnya menjadi momentum untuk menghentikan pola keliru ini. Sudah saatnya kita menggeser pendekatan dari penghukuman ke kesehatan dan perlindungan hak asasi manusia.
Dalam pernyataan sikapnya, Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) koalisi yang terdiri dari 24 organisasi masyarakat sipil mengajukan tujuh tuntutan utama kepada pemerintah dan DPR dalam proses revisi UU Narkotika:
1. Ubah paradigma dari kriminalisasi ke pendekatan kesehatan. Negara harus berhenti menjebloskan pengguna ke penjara dan mulai memberikan layanan kesehatan yang memadai.
2. Dikriminalisasi pengguna narkotika. Ini bukan legalisasi bebas, tapi pengalihan dari pendekatan hukum ke pendekatan sosial dan medis. Negara-negara seperti Portugal, Swiss, hingga Malaysia sudah memulai—kenapa kita tidak.
3. Berikan ruang untuk penggunaan narkotika dalam konteks medis dan riset. Ini penting demi masa depan ilmu pengetahuan dan hak atas kesehatan warga negara.
4. Perbaiki mekanisme hukum acara dalam kebijakan narkotika. Penjebakan dan tes urine yang tidak transparan telah menjadi alat represi, bukan keadilan.
5. Perluas alternatif pemulihan. Rehabilitasi tidak boleh menjadi kedok untuk eksploitasi. Fokusnya harus pada peningkatan kualitas hidup pengguna, bukan sekadar angka ketergantungan.
6. Libatkan masyarakat sipil dan akademisi. Proses penyusunan kebijakan harus terbuka, partisipatif, dan berbasis bukti.
7. Laksanakan putusan Mahkamah Konstitusi soal ganja medis. Riset dan penggunaan ganja medis adalah hak konstitusional, dan Provinsi Aceh bisa menjadi pilot project yang potensial.
Sudah cukup lama masyarakat sipil menyaksikan kegagalan kebijakan narkotika. Sudah terlalu banyak pengguna narkotika yang kehilangan masa depan hanya karena pendekatan negara yang lebih senang menghukum daripada menyembuhkan.
Hari Narkotika Internasional 2025 ini, mari kita ubah cara pandang. Kita tidak butuh perang yang penuh luka, tapi kebijakan yang menyembuhkan. Kita tidak butuh ancaman, tapi perlindungan. Dan yang paling penting: kita tidak bisa membiarkan UU Narkotika yang baru lahir dari rahim kebijakan lama yang gagal. Sudah waktunya perubahan dimulai. Dan perubahan itu tidak bisa ditunda lagi.
[Redaksi/Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika]
View
Posting Komentar