Jawapes Jakarta – Komposer dan pencipta lagu Iskandar Hanafi menuding Lembaga Manajemen Kolektif Wahana Musik Indonesia (WAMI) telah melakukan wanprestasi dan pelanggaran terhadap hak cipta. Tudingan ini muncul setelah WAMI dinilai gagal memberikan laporan royalti yang akurat dan transparan atas karya-karya milik Iskandar yang dieksploitasi secara komersial melalui platform digital seperti YouTube dan Spotify.
Iskandar menunjuk Marhaban, Direktur Utama Kantor Jasa Consultant Nasional (JSN), sebagai kuasa khusus untuk menangani kasus ini. Langkah hukum diambil setelah berbagai upaya komunikasi dan permintaan klarifikasi dari pihak Iskandar tidak ditanggapi serius oleh WAMI.
“Kami sudah minta data resmi sebagai hak kami, tapi laporan yang diberikan tidak sesuai prinsip transparansi. Ini bukan hanya soal angka, tapi menyangkut keadilan dan penghormatan terhadap hak pencipta,” kata Iskandar.
JSN menyebutkan dugaan pelanggaran serius yang dilakukan WAMI, di antaranya manipulasi data pencipta, perubahan nama dan judul karya tanpa izin, pendaftaran lagu “Ninu Ninu” tanpa sepengetahuan Iskandar, serta pemberian laporan royalti yang tidak rinci dan tidak dapat diverifikasi.
Marhaban menegaskan, pencipta berhak atas informasi lengkap seperti jumlah pemutaran lagu, asal negara pendengar, dan rincian pendapatan di tiap platform. Ketidakterbukaan data ini dianggap sebagai bentuk eksploitasi sistematis terhadap pencipta lagu.
Dalam surat resmi kepada Direksi WAMI, pihak Iskandar Hanafi menyampaikan tiga tuntutan utama: perbaikan seluruh data karya yang salah, pemberian laporan royalti yang transparan dan detail, serta pembayaran royalti secara penuh sesuai data akurat. Tenggat waktu yang diberikan adalah 14 hari kerja. Jika tidak dipenuhi, kasus ini akan dibawa ke jalur hukum dan diumumkan secara terbuka ke publik melalui media massa.
“Jika tidak direspons, kami akan mengajukan gugatan hukum dan membuka kasus ini ke ruang publik sebagai pelajaran penting bagi industri musik Indonesia,” tegas Marhaban, Senin (30/6/2025).
Dari sisi hukum, hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal 9 UU Hak Cipta menyebutkan bahwa pencipta memiliki hak ekonomi atas karyanya, termasuk hak untuk menerima royalti atas pemanfaatan karya.
Selain itu, Pasal 113 ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan bahwa pelanggaran hak ekonomi pencipta dapat dikenai sanksi pidana. Pelaku dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Jika pelanggaran dilakukan secara komersial, ancaman hukuman naik menjadi penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp4.000.000.000 (empat miliar rupiah) sesuai Pasal 113 ayat (4).
Jika WAMI terbukti lalai atau sengaja mengelola hak cipta secara tidak akuntabel, termasuk manipulasi laporan royalti dan pendaftaran karya tanpa izin, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana hak cipta dan berpotensi dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut.
Kasus ini menjadi peringatan penting bagi semua Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas sangat dibutuhkan agar ekosistem industri musik digital tetap sehat dan menghormati hak-hak para pencipta lagu.
Hingga berita ini diturunkan, WAMI belum memberikan tanggapan resmi atas surat tuntutan dan peringatan hukum yang dilayangkan oleh pihak Iskandar Hanafi. (Red)
View
Posting Komentar