![]() |
Dok: Kantor Desa Ngerong. |
Jawapes Pasuruan - Alih-alih membantu masyarakat mendapatkan kepastian hukum atas tanah mereka, Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Ngerong, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan justru menimbulkan kekecewaan dan keresahan. Warga mengaku dipungut biaya Rp 600 ribu per bidang tanah, atau empat kali lipat dari batas maksimal yang ditetapkan pemerintah.
Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 2017. yaitu Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa PDTT, pungutan maksimal untuk biaya PTSL di wilayah Jawa dan Bali hanyalah Rp 150.000. Biaya tersebut sudah mencakup operasional seperti pengadaan patok, materai, dan kebutuhan administrasi ringan lainnya.
Namun fakta di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian. Warga menyebut bahwa pungutan Rp 600 ribu diklaim mencakup “biaya pendampingan RT” hingga keperluan yang tidak jelas.
“Sudah bayar, tapi katanya nggak masuk kuota. Lalu uang kami ke mana” ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Awalnya program ini ditargetkan mencakup 3000 bidang tanah. Namun dalam perkembangannya, muncul kabar bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasuruan mengurangi kuota menjadi hanya 1000 bidang. Pengurangan ini dilakukan tanpa penjelasan rinci kepada masyarakat, meskipun mayoritas warga mengaku telah membayar lunas.
Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Ngerong berinisial (S) berdalih tidak mengetahui detail teknis program PTSL maupun pungutan yang terjadi. Menurutnya, segala pengurusan dilakukan oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas), sebuah lembaga ad hoc yang dibentuk untuk mendampingi pelaksanaan PTSL di tingkat desa.
Namun, pertanyaan besar muncul, siapa saja anggota Pokmas, Apakah mereka bertanggung jawab secara hukum atas pengelolaan dana masyarakat, Hingga berita ini diturunkan, Pokmas tidak memberikan klarifikasi atau laporan pertanggungjawaban penggunaan dana, terutama bagi bidang tanah yang gagal masuk kuota.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasuruan sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam program ini juga belum memberikan pernyataan resmi. Beberapa upaya konfirmasi melalui saluran media dan jalur formal tidak direspons dengan terbuka.
Sementara itu, gelombang kekecewaan warga terus menguat. Mereka meminta transparansi penuh dan pengembalian dana atas bidang tanah yang tak terealisasi. Sejumlah warga bahkan mulai menggalang upaya melaporkan kasus ini ke Inspektorat Kabupaten, Ombudsman RI, hingga aparat penegak hukum.
Program PTSL merupakan inisiatif strategis pemerintah pusat untuk mempercepat sertifikasi tanah rakyat secara sistematis, menyeluruh, dan terjangkau. Namun jika pelaksanaannya justru membuka celah penyimpangan dan pungutan liar, maka integritas program ini patut dipertanyakan.
Kemana uang mereka disalurkan, Mengapa kuota dipangkas tanpa kejelasan dan Siapa yang bertanggung jawab atas selisih pungutan.Tanpa transparansi dan akuntabilitas, PTSL bukan lagi solusi, tapi hanya akan menjadi beban baru dalam praktik birokrasi yang korup. (Rd82)
Pembaca
Posting Komentar