Mega Korupsi Pertamina, Hukuman Mati Mengancam



Jawapes, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil membongkar skandal mega korupsi di PT Pertamina (Persero) yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun. Namun, upaya ini menghadapi banyak rintangan. Ancaman, suap, dan tekanan politik terus membayangi proses penyelidikan.  


Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa negara tidak akan memberi ruang bagi para pelaku, yang terlibat segera ditangkap dan diadili tanpa pandang bulu. Hukuman mati disebut sebagai opsi bagi mereka yang telah merusak perekonomian. 


"Rakyat dalam kondisi menderita dan negara dirampok, sehingga tidak boleh ada kompromi," tegas Prabowo.  


Kemungkinan hukuman mati semakin kuat karena kejahatan ini terjadi saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, sesuai Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor. 


Sejak kasus ini mencuat, tekanan terhadap Kejagung meningkat. Jaksa penyidik mengalami teror, dibuntuti, bahkan diancam. Keluarga mereka juga mendapat intimidasi. Upaya suap bernilai triliunan rupiah dilakukan untuk membungkam penyelidikan. 


Meski demikian, Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan bahwa Kejagung tidak akan mundur. Pola kejahatan yang terungkap sangat sistematis, mulai dari pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax, impor minyak mentah dengan harga digelembungkan melalui broker siluman, hingga pemalsuan laporan konsumsi BBM untuk memperbesar dana subsidi yang kemudian dikorupsi.  


"Saat ini, sembilan orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk pejabat tinggi Pertamina dan Kementerian ESDM," ungkap Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, dalam keterangannya pada Jumat (7/3/2025).


Sementara itu Ketua Jawa Corruption Watch (JCW), Rizal Diansyah Soesanto, menilai kasus ini sebagai ujian bagi pemerintah. 


"Jika Kejagung gagal membawa semua pelaku ke pengadilan, maka itu menjadi bukti bahwa negara telah dikuasai mafia," seru Rizal. 


Senada dengan Ketua DPD Rumah Gibran Jawa Timur, Eko Tjahjono Prijanto, juga mengecam keras skandal ini, menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap rakyat dan bangsa. 


"Kejahatan di sektor migas bukan sekadar kasus ekonomi, tetapi ancaman bagi negara. Saya meminta aparat hukum tetap berani mengusut hingga tuntas tanpa intervensi politik," ujar Eko.  


Kerugian akibat skandal ini sangat besar. Sebanyak Rp 35 triliun hilang dari ekspor minyak mentah ilegal, Rp 2,7 triliun raib dalam permainan impor, Rp 126 triliun dikorupsi melalui skema kompensasi palsu, dan Rp 21 triliun bocor dari subsidi yang dimanipulasi. (Red)

Baca Juga

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama