Jawapes Surabaya - Publik dikejutkan temuan Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan untuk wilayah laut di kawasan Surabaya-Sidoarjo dengan total luas mencapai 656 hektare. Temuan ini pertama kali diungkapkan oleh Thanthowy Syamsuddin, seorang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair), yang mempublikasikan hasil penelitiannya terkait HGB di atas perairan timur Surabaya-Sidoarjo yang menuai kritik keras dari berbagai kalangan.
Menurut Thanthowy, HGB tersebut ditemukan pada koordinat 7.342163°S, 112.844088°E, 7.355131°S, 112.840010°E dan 7.354179°S, 112.841929°E. Berdasarkan penelusuran lebih lanjut melalui laman bhumi.atrbpn.go.id, terdapat dua bidang tanah di wilayah tersebut yang berstatus HGB. Salah satu bidang dengan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB) 00182 memiliki luas 2.851.652 meter persegi dan mencakup wilayah daratan Kecamatan Sedati, Sidoarjo, hingga ke arah laut lepas.
Hal ini membuat Kordinator Pengaduan dan Investigasi dari Jawa Corruption Watch (JCW) Typhun Olive Kagoshima merasa ada kejanggalan penerbitan HGB di wilayah perairan. Banyak pihak mempertanyakan legalitas dan logika penerbitan HGB di atas laut, yang dinilai melanggar prinsip tata ruang dan merugikan ekosistem laut.
"Penerbitan HGB di laut adalah tindakan yang sangat mencurigakan dan membutuhkan investigasi mendalam," ujar Typhun, Rabu (22/1/2025).
Kasus ini memunculkan dugaan adanya praktik korupsi dan kolusi antara pihak pengembang dan pejabat pemerintah. Proses penerbitan HGB di lokasi yang tidak lazim ini dianggap membuka peluang penyimpangan wewenang.
“Kami akan mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera turun tangan. Ini adalah alarm bagi sistem tata kelola tanah kita. Investigasi transparan harus dilakukan," tegas Typhun.
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono menyoroti munculnya HGB seluas 656 hektare di wilayah laut Sidoarjo yang diduga melanggar aturan tata ruang dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Di atas laut mana pun, kami melihat ini sebagai pelanggaran serius. Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 secara tegas melarang pemanfaatan ruang untuk HGB di atas perairan. Kami akan segera memanggil Pemprov Jatim dan BPN Jatim untuk meminta penjelasan," tutur Deni.
Aktivis lingkungan Kelautan, Ismail yang akrab dipanggil Eeng juga menyuarakan keprihatinannya terkait dampak ekologis dari penggunaan laut untuk proyek komersial. Wilayah yang teridentifikasi merupakan habitat penting bagi berbagai spesies laut dan mata pencaharian nelayan setempat.
"Jika lautan ini dikembangkan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan, kerusakan lingkungan akan menjadi tak terhindarkan," ungkap Eeng.
Gelombang kritik publik mendorong berbagai elemen masyarakat meminta usut tuntas terkait hal ini. Mereka mendesak agar penegak hukum menyelidiki legalitas HGB tersebut.
"Kita tidak bisa membiarkan praktik seperti ini berlangsung tanpa pengawasan ketat," kata Prajitno, seorang aktivis peduli lingkungan.
Sementara itu Ketua DPD LSM Jaringan Warga Peduli Sosial (Jawapes) Jawa Timur, Sugeng Samiaji mengingatkan adanya kasus ini menjadi pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan tanah, terutama di kawasan strategis seperti laut.
“Pengawasan yang lebih ketat serta penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk memastikan tidak ada pihak yang memanfaatkan celah hukum demi keuntungan pribadi,” pesan Samiaji.
Publik kini menantikan hasil investigasi dan langkah tegas dari pihak berwenang. Akankah kasus ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem tata kelola tanah, atau hanya menjadi skandal yang berlalu begitu saja? (Red)
Pembaca
Posting Komentar