Jawapes Surabaya - Nampaknya politik menjelang 2024 berlangsung dalam dua model, satu berpolitik santun dan beradab yang dipertontonkan oleh Anies dan Koalisi Perubahan Untuk Persatuan dan satunya oleh kelompok lain yang tak suka Anies maju menjadi capres.
Politik telanjang tak lagi malu dipertontonkan, politik tukang begal, mengambil paksa milik orang lain dan memaksakan kehendak.
Politik itulah yang dipertontonkan oleh istana, dengan segala cara dilakukan asal kemauannya bisa dilaksanakan. Boleh saja istana mengelak dan be retorika, tapi faktanya bisa dibaca seperti itu.
Hobi begal nampaknya menjadi jurus pamungkas ketika calon korbannya sulit dibendung, hal nampaknya dilakukan kepada Anies Baswedan dan siapapun yang diindikasikan membantu memuluskan Anies menjadi capres.
Seperti yang terjadi pada Partai Demokrat. Usaha membegal partai Demokrat meski masih dalam proses, tapi sepertinya mengalami jalan buntu, upaya lain yang dilakukan adalah dengan membujuk Partai Demokrat untuk masuk dalam koalisi pemerintah, namun sayangnya iman Partai Demokrat belum bisa diluluhkan.
Perlakuan kasar dan keras dialami oleh Partai Nasdem. Partai Nasdem yang jelas - jelas mencalonkan Anies dianggap telah berkhianat pada istana, padahal Partai Nasdem sudah menjelaskan beliau akan mengawal kekuasaan sampai tuntas, meski Partai Nasdem tahu program yang digaungkan pemerintahan Jokowi mengalami kegagalan.
Harga mahal harus dibayar Partai Nasdem, Menterinya yang sekaligus sekjend partai, dicopot dengan sangkaan korupsi, padahal masih banyak mereka yang mendapatkan sangkaan yang sama, masih aman aman saja, karena masih berada dalam koalisi yang sama.
Apel perubahan partai Nasdem bisa dipahami sebagai bentuk show of force kekuatan Partai Nasdem dihadapan Jokowi dan Istana, tak kurang 200 ribu kader hadir di Jakarta. Apalagi pernyataan SP dalam pidatonya yang tak akan surut mengawal perubahan bersama Anies Baswedan. Nampaknya taktik SP dengan apel perubahan ini membuat Jokowi harus berpikir ulang memperlakukan SP dan Partai Nasdem. Sehari setelah itu, SP diundang ke istana, sebuah pemandangan yang tak lazim selama ini, karena SP dan Partai Nasdem dianggap telah membangkang istana. Apalagi dalam pernyataannya, SP menjelaskan bahwa Jokowi juga menanyakan siapa sebenarnya wakil Anies. Dengan berkelakar dia jawab bahwa itu semua biarlah Anies yang jawab. Pertanyaannya adakah keberanian Jokowi mengundang Anies ke istana untuk bicara perubahan yang diperjuangkan oleh Anies dan Koalisinya?
Kehadiran utusan Partai Golkar dalam acara apel perubahan yang diadakan oleh Partai Nasdem, nampaknya membuat istana terusik. Sehingga menertibkan mulailah ketua Golkar, Airlangga Hartarto diganggu dengan kasus kasus yang dianggap berpotensi menjeratnya. Tak lama setelah kehadiran utusan partai Golkar tersebut, kejaksaan mulai mengungkit kasus yang pernah menyanderanya, terkait kasus ekspor CPO.
Pemeriksaan ini tak bisa tidak membuat publik mencoba mengkaitkan dengan arah politik Golkar setelah KIB dirasa tidak mengalami kemajuan dan cenderung bubar. Perilaku inilah yang membuat istana kuatir bahwa arah politik Golkar akan cenderung sama sebagaimana Partai Nasdem.
Tak tanggung - tanggung apa yang dilakukan oleh Airlangga Hartarto dengan membiarkan kehadiran beberapa pengurusnya menghadiri apel perubahan Partai Nasdem, dihantam dengan dua peluru mematikan, isu munaslub dengan menyodorkan LBP dan Bahlil sebagai penggantinya dan pemeriksaan dia oleh kejaksaan agung.
Menghadapi ancaman seperti itu, nampaknya Airlangga Hartarto tak diam, bahkan dia membuat pernyataan yang membuat istana panas, ada 54 proyek yang digagas Jokowi yang cenderung bermasalah dan sulit untuk diselesaikan pada tahun 2024.
Pernyataan inilah yang mungkin akan menjawab statement Budi Arie, ketua Projo yang kini diangkat sebagai Menkominfo. Bahwa kalau pilpres 2024 tidak dimenangkan oleh koalisi istana, bisa dipastikan akan masuk penjara semua. Inilah yang mungkin menjadi kekuatiran istana dan oligarki yang selama ini saling menikmati.
Partai Golkar nampaknya bukanlah partai yang cenderung bisa begitu saja menerima perlakuan kasar, mereka sudah teruji menghadapi tekanan dan menjadi pemenang. Maka usaha yang dilakukan adalah mendekati PDIP dan membangun tim tehnis sebagai sebuah pesan bahwa dia masih dalam koalisi yang sama.
Namun yang harus dipahami adalah, dengan membangun koalisi dengan PDIP, dipastikan bahwa Jokowi sudah tak bisa cawe cawe, karena PDIP sudah menegaskan urusan capres dan cawapres adalah hak prerogatif ketua umum, Megawati Soekarno Putri. Dibutuhkan nyali besar untuk melawan kehendak Megawati. Kini Ganjar pun sudah semakin jauh dari Jokowi.
Harapan Jokowi kini hanya tinggal pada Prabowo, Jokowi bisa memaksakan kehendaknya, misalkan memasangkan Prabowo dengan Erik Thohir atau bahkan dengan Gibran. Apalagi sikap Prabowo yang cenderung tidak mau berkonflik, sehingga akan memungkinkan Jokowi mengajukan pilihannya menjadi cawapres Prabowo. Meski tentu ini akan membuat Cak Imin dan PKB marah, Namun hal ini bisa dilakukan karena Cak Imin dan PKB menurutnya cenderung akan mudah dikendalikan, karena kasus kardus durian yang dianggap menyandera.
Dinamika politik menjelang pendaftaran capres dan cawapres akan cenderung keras dan dinamis, dibutuhkan nyali dan kecerdasan untuk menghadapi. Jurus begal tentu akan semakin telanjang dan keras dilakukan terhadap siapapun yang dianggap akan mengancam kemapanan yang selama ini dinikmati.
Tapi percayalah bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan dan tak bisa dihentikan, apalagi kalau rakyat sudah berkehendak. Maka disinilah kita bisa memahami syarat nomor nol cawapres Anies, tidak bermasalah dan berani. Karena syarat itulah yang membuat jurus mereka tak berarti. Disinilah terlihat kecerdasan Anies mengelola konflik yang dia hadapi, mengalahkan lawan tanpa harus mempermalukan dan mengeluarkan tenaga yang besar.
Bravo Mas Anies, Bravo Perubahan.
Surabaya, 30 Juli 2023
Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi.
(CSan).
Pembaca
Posting Komentar