![]() |
| Cak San ( Narasumber ) |
Jawapes Surabaya - Posisi pers dan profesi wartawan yang
strategis di mata masyarakat maupun kalangan pejabat, menjadi incaran baru
untuk mendapatkan uang secara mudah. Hal inilah yang membuat ada banyak orang
ingin menjadi wartawan dengan cara mudah melalui jalan pintas.
Pasca Reformasi 1998 terjadi pertumbuhan media yang
mencengangkan. Bila pada jaman Orde Baru semua usaha pers harus memiliki Surat
Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan sejumlah persyaratan lain, serta
pemerintah membatasi jumlah SIUPP, sejak UU No 4 Tahun 1999 tentang Pers
diundangkan semua orang, setiap warganegara Indonesia, siapa saja dapat
mendirikan perusahaan pers.
Jangan kaget apabila jaminan ini kemudian dimanfaatkan
banyak orang untuk mendirikan
perusahaan pers. Pertumbuhan media ini terkait dengan adanya
peluang bisnis baru melalui media. Ada banyak pengusaha tergiur untuk
mendirikan perusahaan pers dan merekrut wartawanwartawan dari berbagai media
untuk menjadi pemimpin redaksi di perusahaan pers baru mereka dengan gaji yang
lumayan menggiurkan. Peluang ini juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang
tadinya adalah para ‘wartawan abal-abal’
untuk ikut mendirikan media sebagai peluang bisnis. Sabtu (21/12/2019)
Saat ini di Indonesia total jumlah media diperkirakan
mencapai angka 47.000 media. Di antara jumlah tersebut, 43.300 adalah media
online. Sekitar 2.000-3.000 diantaranya berupa media cetak. Sisanya adalag
radio dan stasiun TV yang memiliki siaran berita. Namun yang tercatat sebagai
media profesional yang lolos verifikasi hingga akhir 2018 ini baru sekitar
2.400
perusahaan pers. Posisi pers dan profesi wartawan yang
strategis di mata masyarakat maupun kalangan pejabat, menjadi incaran baru
untuk mendapatkan uang secara mudah.
Hal inilah yang membuat ada banyak orang ingin menjadi
wartawan dengan cara mudah melalui jalan pintas. Banyak mantan wartawan dan
orang-orang yang sama sekali tak punya pengalaman di bidang jurnalistik nekad
mendirikan perusahan pers dengan modal minim. Tanpa legalitas hukum dan juga
tak memenuhi standar pers. Hal inilah yang menyebabkan maraknya pertumbuhan
media
yang kemudian lebih dikenal sebagai “media abalabal”.
Merujuk pada ketentuan UU No. 40/1999, setiap orang yang berniat mendirikan
usaha pers harus mengurus badan hukum berbentuk perseroan terbatas, koperasi,
atau yayasan. Dalam UU juga dinyatakan bahwa setiap penerbitan pers harus
mencantumkan nama penanggung jawab dan alamat yang jelas. Khusus untuk media
cetak, media juga harus mencantumkan nama dan alamat percetakannya.
Media-media abal-abal didirikan dengan asalasalan dan tanpa
modal yang memadai. Karena
itulah pemiliknya, yang notabene adalah “wartawan abal-abal”
juga mempekerjakan orang secara sembarangan untuk jadi wartawan dadakan, tanpa
pernah memberikan pelatihan dan pembekalan keterampilan jurnalistik, pemilik
media memberikan “kartu pers” yang dibuatnya sendiri.
Bahkan kerap tanpa memberi gaji dan malah mewajibkan sang “wartawan” untuk memberikan setoran bulanan kepada pemilik media.
Kelompok
abal-abal juga mendirikan sejumlah organisasi. Kelompok ini ingin memanfaatkan
kesempatan di tengah tidak pahamnya aparat pemerintah daerah maupun organisasi
pemerintah daerah (OPD) akan UU Pers maupun peraturan Dewan Pers terkait wartawan maupun perusahaan
pers. Dalam menjalankan praktik “abal-abalisme“- nya, kelompok ini juga kerap
mengaku ataupun merangkap sebagai aktivis LSM, bahkan kantor pengacara. Kantor
LSM atau pengacara digunakan sebagai penekan, kadang-kadang sebagai narasumber
sendiri dalam pemberitaan. Namun ketika berhadapan dengan hukum kelompok abal-abal
ini, baik “media’’ atau sang “wartawan” menggunakan alasan kemerdekaan pers dan
UU No 40 Tahun 1999 sebagai tempat berlindung. Semoga bermanfaat.
(Cak San)
View

sip
ردحذفإرسال تعليق
Hi Please, Do not Spam in Comments