Jawapes Sampang – Berdasarkan petunjuk teknis percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah sistematis lengkap Dirjen hubungan hukum keagrariaan TA 2017 mengatakan bahwa kegiatan prona, pemohon tidak dikenakan biaya untuk penyelenggaraan layanan administrasi di Kantor Pertanahan Kabupaten Sampang yakni biaya pendaftaran sertifikat, biaya pengukuran dan biaya pemeriksaan tanah, sebab biaya dimaksud telah dianggarkan oleh pemerintah melalui (APBN).
Namun, dengan adanya surat edaran Gubernur Jatim nomor: 140/7811/011/2007 tanggal 26 April 2017 yang menjelaskan biaya yang tidak dianggarkan oleh pemerintah pusat (APBN) merupakan kewajiban pemohon, sehingga desa dapat memfasilitasi dan mengatur yang dituangkan dalam peraturan desa dengan berpedoman pada Permendagri nomor 111 tahun 2004.
Adanya SE Gubernur tersebut diduga kuat dijadikan Dasar Hukum oleh Ajun Komisaris Polisi (AKP) Hery Kusnanto,SH,MH selaku Kasatreskrim Polres Sampang untuk menyimpulkan pungutan biaya sebesar Rp 400 ribu oleh Kepala Desa dan panitia Prona TA 2017 di desa Marparan, Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang. Kesimpulan, dari analisa kasus dan analisa yuridis tersebut, bahwa pungli prona oleh Kepala Desa Marparan dan panitia Prona belum ditemukan penyimpangan perbuatan melawan hukum sebab hal tersebut telah diatur dalam peraturan desa Marparan nomer: 02 tahun 2016, tanggal 26 Mei 2016.
Saat awak media Jawapes berusaha mengkonfirmasi ke Kasat Reskrim melalui selulernya, tidak bisa memberikan tanggapan dan diarahkan ke humas Polres Sampang, Kamis (16/8/2018).
Perlu diketahui, perbedaan penegakkan hukum di Kabupaten Sampang sangatlah jelas, dimana Kades Gunung Maddah diduga melakukan pungutan liar untuk pembuatan sertifikat dalam program prona yang ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan oleh Korps Adhyaksa.
Sedangkan Kades Marparan juga melakukan hal yang sama, namun dikatakan belum ada perbuatan melawan hukum oleh Kasat Reskrim Polres Sampang.
Terpisah, Rizal Diansyah Soesanto, ST selaku Sekjen LSM Jaringan Warga Peduli Sosial (Jawapes) Indonesia mengatakan bahwa surat edaran itu hanya petunjuk pelaksanaan bukan merupakan produk hukum.
“Kalau surat edaran bertentangan dengan produk hukum seperti UU tipikor, maka surat edaran tidak dapat dilaksanakan,” kata Rizal.
Ditegaskannya, bahwa unsurnya jelas pungutan liar sebesar Rp 400 ribu, meskipun ada rinciannya namun itu tetap di katagorikan keluar dari asas kepatutan dan berat bagi masyatakat.
“Itu kan hanya akal-akalannya penyidik untuk dijadikan bahan agar tidak diproses lanjut karena ada faktor X,” beber Rizal.
Dan pastinya, lanjut Rizal, kalau dilihat dari pengajuan prona sebelum keluarnya surat edaran ini malah tambah parah. Karena sudah dipungut sebelum terbitnya SE, hal ini ada indikasi korupsinya.
“Jika perbuatan pidana dilakukan sebelum ada peraturan terbaru, maka peraturan yang lama menjadi acuan. Tapi disini SE bukan produk hukum, jadi sebenarnya tetap bisa di proses,” kata Rizal.
Makanya dalam SE tidak bisa menyebutkan nominal, hanya berbunyi pengeluaran yang tidak dianggarkan dalam anggaran negara merupakan tanggungan pemohon.
“Kenapa disitu ada perbedaan penanganan hukum yang terjadi di Gunung Maddah dengan di Marparan, itu yang perlu digaris merah,” pungkasnya.(Red)
View
Posting Komentar