Padepokan Cengkir Menjadikan Taman Sinau Bareng.



Jawapes Surabaya - Sebagai guru/tenaga pengajar yang berkecimpung di dunia pendidikan, saya atau mungkin juga Anda diingatkan kembali untuk sinau meneladani pemikiran bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan nasional kita itu, menggunakan kata ’taman’ untuk menggambarkan proses penyelenggaraan pendidikan. Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar.


Ki Hadjar ingin mengajak Anda untuk membayangkan sekolah sebagai suatu taman, dan kelak pada waktunya kita akan melihat bahwa sesungguhnya praktik pembelajaran itu idealnya dilangsungkan dalam suasana yang mirip dengan suasana taman. Taman yang
menghadirkan suasana kegembiraan, taman yang nyaman dan setiap orang bisa berekspresi, berkreasi sambil mengukir kenangan.

Bila sekolah bagaikan taman berarti tidak seperti penjara yang mengungkung, membelenggu serta membikin manusia tak lagi memiliki harapan—tentunya tidak ada lagi siswa yang tidak kerasan lalu drop out, minggat dari sekolah itu.

Di mana wadah/lembaga/institusi pendidikan pertama yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara dinamakan Taman Siswa. Kenapa taman? Karena praktik dan proses pembelajaran itu idealnya dilangsungkan dalam suasana yang mirip dengan suasana taman. Taman yang menghadirkan suasana kegembiraan, taman yang nyaman, asyik, dan setiap anak/siswa merdeka untuk berekspresi, berimajinasi dan berkreasi.

Namun pada kenyataannya, institusi pendidikan era sekarang, dalam hal ini sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, belum sepenuhnya menerapkan konsep belajar ala ‘taman siswa’ yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Alih-alih mencontoh Taman Siswa, faktanya tak sedikit sekolah yang justru cenderung bersistem kaku, mengungkung, dan membatasi para siswa untuk berkembang melalui cara penyeragaman.

Perlu diyakini bahwa setiap anak dianugerahi Tuhan bakat dan keunikannya sendiri-sendiri.
Maka, sikap paling bijak seorang guru (pengajar) di sekolah yaitu menganalisa sejak awal karakteristik anak, untuk kemudian mengajari, mengarahkan, dan membimbing sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Anak adalah mahaguru bagi dirinya sendiri, dan sumber ilmu bagi teman-temannya.

Kita semua tahu siapa bapak Pendidikan Nasional. Tetapi tidak semua mau untuk memaknai dan mengejawantahkan metode pendidikan yang telah diajarkannya. Generasi milenial harus belajar sejarah. Harus peduli dengan peradaban masa silam. Dan harus mau membaca goresan tinta emas para pejuang, tokoh, dan guru bangsa.

Karena apa yang kita cicipi sekarang (di segala bidang) merupakan dedikasi–buah karya sesepuh leluhur kita. Kalau ingin maju belajar dari pendahulu kita. Analoginya seperti busur dengan anak panah. Semakin anak panah di tarik jauh mundur ke belakang, maka akan semakin jauh anak panah melesat ke depan.
Mengelaborasi dan mempraktikkan konsep belajar ala taman siswa di sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, pesantren, dan sebagainya.

Selain itu, sebagai pengajar dan pendidik, guru hendaknya mampu membangun kesadaran bahwa yang belajar di sekolah tidak hanya murid, tetapi guru juga. Dengan begitu konsep yang diterapkan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) bukan model satu arah/linier melainkan belajar bersama-sama alias Sinau Bareng.

Nah, forum Sinau Bareng yang dirintis dan dimasyarakatkan oleh Mbah Nun (Ainun Najib) dapat dijadikan acuan. Artinya guru tidak hanya memerintah, memberi penjelasan atau sekadar mendikte siswa. Tetapi siswa diajak diskusi. 
Satu tema pembelajaran dionceki bareng-bareng.

Sebagai penutup, dalam rangka memperingati hari guru (25/11/2021) ini, ingin sekali rasanya mengajak semua pihak dan siapapun saja yang berkiprah di dunia pendidikan, untuk bersama-sama menjadikan sekolah-sekolah sebagai “Taman Sinau Bareng” yang nyaman, ramah dan menggembirakan.

Selamat Hari Guru.

Penulis Cak San.
Di Padepokan Cengkir Suramadu.
(CSan)

Pembaca

Post a Comment

أحدث أقدم