Revolusi Kita Kembali Ke UUD 1945, Mengembalikan Tujuan Bernegara Masyarakat Adil Dan makmur


Oleh Prihandoyo Kuswanto Pusat Studi Rumah Pancasila



Jawapes Surabaya - Amandemen UUD 1945 dengan merubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara justru kita masuk didalam alam ketidak adilan , semua yang berkuasa partai politik suka tidak suka mau tidak mau rakyat di partai politikan, jika tidak ikut didalam partai politik maka rakyat tidak punya hak bersuara,hak menjadi pemimpin tidak punya hak dipilih tanpa ditentukan oleh ketua partai politik .Partai politik menjadi segala-gala nya kehidupan rakyat ini ditentukan oleh suara politik, bahkan rusak dan tidak rusak nya kehidupan berbangsa dan bernegara ditentukan oleh banyak-banyakan suara di DPR .,

Masih terasa terngiang-ngiang ditelinga kita soal LGBT, lontaran ketua MPR yang menyentil ada beberapa partai politik yang menyetujui UU LGBT , bahkan lebih jelas lagi ketua MPR mengatakan ada delapan partai yang menyetujui UU peredaran miras ,sudah jelas rusak dan tidak rusak nya negara ini ditentukan oleh partai politik . rusak dan tidak rusaknya bangsa dan negara ini ditentukan oleh banyak-banyakan suara .

Amandemen UUD 1945 ternyata tidak hanya mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi justru kita tidak mengerti arah dan tujuan negara ini, apakah mungkin tujuan Masyarakat adil dan makmur diletakan pada sistem Liberalisme Kapitalisme ?

Sungguh sebuah ironi apakah Keadilan Sosial bagi rakyat Indonesia bisa dicapai dengan Banyak-banyakan suara, kalah menang , kuat-kuatan , pertarungan ?

Apa yang terjadi dengan ekonomi kita tidak lagi bertumpuh pada pasal 33 UUD 1945 , ekonomi dijalankan dengan Liberalisme , Kapitalisme , bagaimana mungkin 74 % lahan dikuasai oleh segelintir nonpribumi ,ekonomi dikuasai segelintir orang , bahkan kekayaan alam dikuasai asing .semua serba asing dan pangan kita , beras , garam , daging , bahkan ikan asin pun harus import .apakah mungkin dengan model sistem negara yang dijalankan sekarang ini tujuan bernegara masyarakat adil dan makmur bisa terwujud ?

Mari kita membuka lembaran sejarah bangsa apa yang sedang terjadi sekarang ini sudah pernah terjadi dinegeri ini dan mari kita baca cuplikan pidato Bung Karno

Penemuan kembali Revolusi kita (The Rediscovery of Our Revolution) 17 Agustus 1959 di Jakarta cuplikan :

…………” Sebetulnya, dulu, Rakyat dalam berbagai lapisan atau berbagai golongan, telah juga menjalankan aktivitas di lapangannya masing-masing.

Akan tetapi aktivitasnya itu tidak terkoordinir satu sama lain, tidak terkoordinir di atas persadanya satu dasar dan satu jurusan, –

“satu buat semua, semua buat satu”, – satu, yaitu Negara supaya menjadi Negara Kesatuan yang kuat berwilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke, dan Masyarakat supaya menjadi masyarakat adil dan makmur yang memberi kebahagiaan kepada semua warga negara di seluruh tanah-air.

Dulu aktivitas itu kadang-kadang bersimpang-siur, sehingga kadang-kadang aktivitas satu golongan dilakukan atas kesengsaraannya atau kemelaratannya golongan yang lain.

Aktivitas yang bersimpang-siur ini malahan tidak mendekatkan kita kepada tujuan Revolusi, melainkan malahan menjauhkan kita dari tujuan Revolusi!

Karena itu kita sekarang harus mengadakan herordening dan koordinasi total!

Herordening politik.
Tidak boleh lagi terjadi, bahwa Rakyat ditunggangi oleh pemimpin.

Tidak boleh lagi terjadi, bahwa Rakyat menjadi alat demokrasi.
Tetapi sebaliknya, demokrasi harus menjadi alat Rakyat.

Alat Rakyat untuk mencapai tujuan Rakyat.Tujuan Rakyat yang telah dikorbani oleh Rakyat berpuluh-puluh tahun, yaitu Negara kuat, masyarakat adil dan makmur.

Demokrasi Terpimpin tidak menitikberat-kan kepada “satu orang = satu suara”, sehingga partai menjadi semacam “koeliewerver” di zaman Belanda, hanya sekarang werver suara, tetapi Demokrasi Terpimpin menitikberatkan kepada:

1. tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, berbakti kepada masyarakat, berbakti kepada Bangsa, berbakti kepada Negara.

2. tiap-tiap orang berhak mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, Bangsa dan Negara itu.
Demikianlah herordening di lapangan politik.

Herordening ekonomis bermaksud agar supaya seluruh susunan ekonomi-nasional dijadikan pancatan ke arah ekonomi “adil dan makmur” yang akan direalisasi kelak.

Jelas di sinipun sudah tak boleh diberi jalan kepada ekonomi liberal, di mana tiap-tiap orang diberi kesempatan untuk menggaruk kekayaan ten koste daripada umum.

Di dalam herordening ekonomis ini, maka kehidupan ekonomis bangsa sudah akan dipimpin, ekonomi bangsa dijadikan ekonomi terpimpin.

Sebagai yang saya katakan tadi, maka di dalam herordening ini setidak-tidaknya semua alat-alat-vital produksi dan alat-alat-vital distribusi harus dikuasai Negara, atau sedikitnya diawasi oleh Negara.

Revolusi Indonesia tidak mengizin-kan Indonesia menjadi padang-penggarukan-harta bagi siapapun, – asing atau bukan asing.

Siapa menggaruk kekayaan ten koste daripada umum, siapa mengacau perekonomian umum, dia akan kita tangkap, dia akan kita seret di muka hakim, dia akan kita hukum berat, dia kalau perlu akan kita jatuhi hukuman mati!

Demikian pula persoalan tanah. Kita mewarisi dari zaman Belanda beberapa hal yang harus kita bantras. Antara lain apa yang dinamakan “hak eigendom” di atas sesuatu bidang tanah.

Mulai sekarang kita corèt samasekali “hak eigendom” tanah dari hukum pertanahan Indonesia. Tak dapat kita benarkan, di Indonesia Merdeka ada sesuatu bidang tanah yang dieigendomi oleh orang asing, in casu orang Belanda!

Kita hanya kenal hak milik tanah bagi orang Indonesia; sesuai dengan fasal 33 Undang-Undang Dasar ’45.
Kecuali herordening politik dan herordening ekonomis, kitapun harus mengadakan herordening sosial.

Sejak pecahnya Revolusi kita, saya sudah menandaskan pentingnja “kesedaran sosial”.

Lima kesedaran saya tandaskan pada waktu itu.
Kesedaran nasional, kesedaran bernegara, kesedaran berpemerintah, kesedaran berangkatan Perang, kesedaran sosial, –
Demikianlah kusebutkan soko-guru-soko-guru bagi kehidupan bangsa, pada waktu itu.

Ternyata kesedaran sosial ini dalam waktu survival dan investment bukan makin subur dan makin kokoh, tetapi makin mundur.

Bagi liberalisme dan individualisme telah menggerogoti dalam-dalam.
Apakah pengejawantahan kesedaran sosial daripada bangsa Indonesia?

Pengejawantahan kesedaran sosial itu ialah persatuan, gotongroyong, semangat yang saya namakan semangat “ho lopis kuntul baris”.

Semangat persatuan, semangat gotong-royong, semangat “ho lopis kuntul baris” itu adalah syarat mutlak bagi terselenggaranya masyarakat adil dan makmur.

Tetapi apa yang kita lihat sejak kita meninggalkan alam Revolusi phisik, masuk ke dalam wilayah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar 1950? Liberalisme meracuni kesedaran sosial kita itu, individualismenya meretakkan dan merekahkan semua Kohesinya persatuan kita, kegotong-royongan kita, keholopiskuntulbarisan kita, sehingga kita menjadi satu bangsa yang penuh dengan kankernya daerahisme, kankernya sukuisme, kankernya multipartyisme, kankernja golongan-isme, dan lain-lain.

Individualisme, – itu musuh terbesar daripada idee keadilan sosial -, menyelinaplah ke dalam kalbunya bangsa Indonesia, bangsa Indonesia yang dari dulu terkenal sebagai satu bangsa gotong-royong, dan yang di dalam Revolusi phisik memang benar-benar bersikap sebagai satu Bangsa yang kompak bergotong-royong.

Bagaimana kita bisa membangun satu masyarakat keadilan sosial, kalau individualisme merajalela di dalam kalbu kita? Oleh karena itu, perlu sekali kita sekarang mengadakan satu herordening sosial, agar supaya dapat terlaksanalah apa yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar ’45 fasal 33 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

Demikianlah, Saudara-saudara, maka nyata perlu sekali kita mengadakan herordening-herordening di bidang politik, ekonomis, dan sosial itu.

Memang ordening politik-ekonomis-sosial itu pada hakekatnya adalah inti daripada Revolusi kita, jiwa daripada Revolusi kita.Ia merupakan tiang-pokok yang menyangga Revolusi kita itu.

Tanpa tiang pokok ini, Revolusi kita tak akan mungkin mencapai tujuannya dan lebih daripada itu: Revolusi kita akan ambruk di tengah jalan.

“A Revolution is an outburst of the collective will of a people” –
Revolusi adalah peledakan daripada kemauan kolektif daripada sesuatu bangsa, demikian dikatakan oleh seorang sarjana.

Dan bagaimana Revolusi kita akan dapat berjalan, dan mencapai maksud, kalau kemauan kolektif itu telah pudar oleh liberalisme, individualisme, sukuisme, golonganisme, dan lain-lain sebagainya lagi?

Ordening politik-ekonomis-sosial itu dus sebenarnya adalah kekuasaan pokok, – hoogste gezagdrager – daripada kehidupan nasional kita ini.

Tiap orang, tiap warga-negara, tiap golongan, ya, segala apa yang kumelip di atas bumi Indonesia ini, harus tunduk (gesubordineerd) kepada autoriteasnya hoogste gezagdrager ini.

Autoritas yang tertinggi dalam kehidupan Nasional kita itu, autoritas Cakrawarti dalam Revolusi kita itu, adalah ordening kolektif yang saya maksudkan itu.

Sebab ia menentukan (bepalend) apakah kita ini akan dapat hidup terus sebagai satu Bangsa yang hendak menyelenggarakan masyarakat adil dan makrnur atau tidak.

Ia menentukan (bepalend) apakah Revolusi kita ini akan mencapai tujuannya, ataukah kandas di tengah jalan.
U
Jelas bahwa autoritas tertinggi ini bukan orang, bukan Presiden, bukan Pemerintah, bukan Dewan, tetapi satu Konsepsi-hidup yang menjiwai Revolusi.

Pendek-kata dan garnpangnya-kata, segala apa yang menjadi cita-cita Revolusi ’45 itu, – itulah autoritas yang tertinggi, itulah hoogste gezagdrager, itulah Cakrawarti.
Itulah yang harus dilaksanakan, itulah yang harus kita ta’ati, itulah yang harus kita kawulani.

Segala susunan kehidupan nasional kita harus kita tujukan dan tundukkan kepada realisasinya cita-cita Revolusi itu.

Dan siapa tidak mau ditujukan ke situ, siapa tidak mau ditundukkan ke situ, dia adalah penghalang Revolusi.
Itulah yang saya maksudkan dengan “ordening”, “herordening”, “retooling”, dan lain sebagainya itu.

Dan inilah baiknya Undang-Undang Dasar ’45: ordening dan retooling itu dimungkinkan dan dapat dijalankan, melalui saluran Undang-Undang Dasar ’45.

Oleh karena itu pulalah, maka kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945……”

Butuh kesadaran bersama seluruh rakyat Indonesia , kesadaran berbangsa dan bernegara , kesadaran ber Panca Sila. Kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai anak bangsa , kesadaran untuk bersatu , kesadaran untuk meluruskan cita-cita negara Masyarakat yang adil dan makmur .semua itu butuh kesadaran kolektif kembali kepada UUD 1945 .

JADI YANG MEMBEDAKAN UUD 1945 dan UUD HASIL AMANDEMEN ADALAH UUD 1945 DIJIWAI OLEH AMANAT PENDERITAAN RAKYAT , SEDANG UUD AMANDEMEN DIJIWAI DENGAN INDIVIDUALISME LIBERALISME , KAPITALISME

Jadi jangan heran kalau negara sudah tidak Berdasarkan Panca Sila dan tidak bertujuan Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia .jangan heran kalau subsidi buat rakyat miskin dihentikan .jangan heran kalau ekonomi dikuasai oleh segelintir orang ,jangan heran kalau 74% lahan dikuasai non pribumi ,dan jangan heran kalau masa depan anak cucu kita akan semakin tidak jelas .

Pidato Presiden Soekarno.

......" Saya berdiri di sini sebagai warganegara Indonesia, sebagai patriot Indonesia, sebagai alat Revolusi Indonesia, sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, – sebagai Pengemban Utama daripada Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia.

Kita semua yang berdiri dan duduk di sini harus merasakan diri kita sebagai pengemban Amanat Penderitaan Rakyat! Saya bertanya, sudahkah engkau semua, hai saudara-saudara!, engkau … engkau … engkau … engkau, sudahkah engkau semua benar-benar mengerti dirimu sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar menyadari dirimu sebagai pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar menginsyafi dirimu sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar merasakan dirimu, sampai ketulang-tulang-sungsummu, sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat?

Amanat Penderitaan Rakyat, yang menjadi tujuan perjuangan kita, – sumber kekuatan dan sumber keridlaan-berkorban daaripada perjuangan kita yang maha dahsyat ini?

Sekali lagi engkau semua, – engkau semua dari Sabang sampai Merauke! -, sudahkah engkau semua benar-benar sadar akan hal itu?

"Dari Sabang sampai Merauke", – empat perkataan ini bukanlah sekedar satu rangkaian kata ilmu bumi.

"Dari Sabang sampai Merauke" bukanlah sekedar menggambarkan satu geographisch begrip. "Dari Sabang sampai Merauke" bukanlah sekadar satu "geographical entity".

Ia adalah merupakan satu kesatuan kebangsaan. Ia adalah satu "national entity". Ia adalah pula satu kesatuan kenegaraan, satu "state entity" yang bulat-kuat. Ia adalah satu kesatuan tekad, satu kesatuan ideologis, satu "ideological entity" yang amat dinamis. Ia adalah satu kesatuan cita-cita sosial yang hidup laksana api unggun, – satu entity of social-consciousness like a burning fire.

Dan sebagai yang sudah saya katakan dalam pidato-pidato saya yang lalu, social consciousness kita ini adalah bagian daripada social consciousness of man.

Revolusi Indonesia adalah kataku tempohari congruent dengan the social conscience of man!
Kesadaran sosial dari Rakyat Indonesia itulah pokok-hakekat daripada Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia.

Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia itu adalah dus bagian daripada social consciousness of mankind. Dus amanat Penderitaan Rakyat Indonesia adalah bagian daripada Amanat Penderitaan Rakyat daripada seluruh kemanusiaan!

Dus Amanat Penderitaan Rakyat kita bukanlah sekadar satu pengertian atau tuntutan nasional belaka.

Amanat Penderitaan Rakyat kita bukan sekedar satu "hal Indonesia". Amanat Penderitaan Rakyat kita menjalin kepada Amanat Penderitaan Umat Manusia, Amanat Penderitaan Umat Manusia menjalin kepada Amanat Penderitaan Rakyat kita.

Revolusi Indonesia menjalin kepada Revolusi Umat Manusia, Revolusi Umat Manusia menjalin kepada Revolusi Indonesia. Pernah saya gambarkan hal ini dengan kata-kata: "there is an essential humanity in the Indonesian Revolution".

Pernah pula saya katakan bahwa Revolusi Indonesia mempunyai suara yang "mengumandang sejagad", yakni bahwa Revolusi Indonesia mempunyai "universal voice".

Pantaslah bahwa Revolusi Indonesia yang demikian itu, bukanlah satu revolusi kecil-kecilan. Pantaslah bahwa Revolusi Indonesia adalah satu Revolusi yang "multy-complex".

Pantaslah bahwa Revolusi Indonesia dinamakan kumpulan daripada beberapa revolusi dalam satu generasi, – dinamakan "a summing up of many revolutions in one generation".

Pantaslah bahwa ada orang yang menamakan Revolusi Indonesia itu seperti pemandangan-alam dalam sebuah k̩k̩r, Р"a telescoped revolution".

Coba perhatikan pula: Revolusi Indonesia bukan hanya menuntut sandang-pangan!

Kalau ia hanya menuntut sandang-pangan saja, maka ia bukan Revolusi Multicomplex, bukan "many revolutions in one generation", bukan telescoped revolution". Bukan!

Revolusi Indonesia menuntut banyak hal-hal lain. Ia meliputi seluruh aspirasi kemanusiaan. Ia adalah congruent dengan the social conscience of man.

Karena itu maka ia "telescoped". Karena itu maka ia "a summing up of many revolutions in one generation".

Coba bandingkan.
Golongan Negro di Amerika sekarang sedang dalam Revolusi, – Revolusinya Social Conscience of Man. Adakah mereka menuntut sandang-pangan? Tidak!

Mereka menuntut perlakuan sebagai Manusia yang Sama, perlakuan yang "congruent dengan social conscience of Man".

Maka dari itu, saudara-saudara!, janganlah sekali-kali lupa bahwa cita-cita kita ini adalah luhur. Cita-cita luhur yang memang cita-citanya seluruh Kemanusiaan, cita-cita luhur yang mengumandang di dalam kalbunya seluruh Kemanusiaan!

Di sinilah letaknya sumber semangat kita! Di sinilah letaknya sumber simpati seluruh New Emerging Forces kepada kita.

Di sinilah letaknya sumber ridho Tuhan kepada kita, – Ridho Tuhan yang selalu menolong kepada kita kalau kita hendak dibinasakan musuh,

Ridho Tuhan yang selalu menolong kepada kita kalau kita hendak ditumpas oleh lawan. Ridho Tuhan yang membuat kita tetap tegak meski dihujani api dan gélédek dan guntur dalam aksi-aksi-militer yang maha dahsyat, Ridho Tuhan yang membuat kita tetap jaya meski hendak di odél-odél oleh pemberontakan-pemberontakan seperti D.I.-T.I.I., P.R.R.I. dan Permesta, Ridho Tuhan yang membuat kita tetap berdiri meski digerogoti oleh segala macam subvesi, Ridho Tuhan yang membuat kita tidak rubuh meski tiap-tiap kali musuh kita mengatakan bahwa kita sebentar lagi pasti mengalami keruntuhan ekonomi, yaitu pasti mengalami satu "economic collapse".

Secara kebatinan saya berkata: "Kita tidak akan runtuh, kita tidak akan binasa, kita tidak akan tumpes, karena do'a seluruh Kemanusiaan mendukung kepada kita!"
All the Social Conscience of Man prays for our Victory!
Karena itu, hai seluruh bangsa Indonesia, tetap tegakkanlah kepalamu! Jangan mundur, jangan berhenti, tetap derapkanlah kakimu di muka bumi! Jikalau ada kalanya saudara-saudara hampir berputus asa, jikalau ada kalanya saudara-saudara kurang mengertinya jalannya Revolusi kita yang memang kadang-kadang seperti bahtera di lautan badai yang mengamuk ini, – kembalilah kepada sumber Amanat Penderitaan Rakyat kita yang congruent dengan Social Conscience of Man itu. Kembalilah kepada sumber itu, sebab di sanalah saudara akan menemukan kembali Rilnya Revolusi!

Saudara-saudara! Barangkali di antara saudara-saudara ada yang berfikir: "Bung Karno ini kali kok lain pembukaan pidatonya daripada pidato-pidato 17 Agustus yang sudah-sudah!" Benar demikian, saudara-saudara! Pembukaan pidatoku sekarang ini memang lain daripada pembukaan pidatoku yang sudah-sudah. Tahun yang lalu, misalnya, saya buka pidatoku dengan pembukaan yang mengungkapkan tabir yang menutupi jiwaku dalam mempersiapkan pidato yang kemudian saya namakan "Tahun Kemenangan" itu. Dalam kata pembukaan pidato "Tahun Kemenangan" itu saya berkata:
"Saya menulis pidato ini sebagaimana biasa dengan perasaan cinta yang meluap-luap terhadap tanah-air dan bangsa, tetapi ini kali dengan perasaan terharu yang lebih daripada biasa terhadap kepada keuletan Bangsa Indonesia, dan kekaguman yang amat tinggi terhadap kemampuan Bangsa Indonesia.

Dengan terus-terang saya katakan di sini, bahwa beberapa kali saya harus ganti kertas, oleh karena air-mataku kadang-kadang tak dapat ditahan lagi. Tak dapat ditahan lagi, oleh rasa gembira pada diri sendiri, dan rasa terimakasih kepada seluruh Bangsa Indonesia yang telah menunjukkan keuletan yang sedemikian itu, dan rasa Syukur Alhamdulillah kepada Tuhan Yang Maha Adil, yang telah mengkaruniai perjuangan yang ulet itu dengan pahala yang maha-tinggi.

Dengan penuh rasa haru, tetapi pula dengan penuh keyakinan, saya menamakan dalam pidato ini, tahun 1962 sebagai Tahun Kemenangan. Dan dengan menamakan tahun 1962 ini Tahun Kemenangan, maka sekaligus saudara-saudara dapat mengerti apa sebab saya terharu, dan sekaligus pula dapat menangkap nada dari isi pidato ini".

Kita bisa rasakan keadaan bangsa ini sejak UUD1945 diamandemen dan melupakan tujuan negara keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diamandemen diganti dengan Individualisme,Liberalisme,Kapitalisme pasar bebas sebebas bebas nya asing mengeruk dan menguasai harta ibu Pertiwi para elit lupa dengan amanat penderitaan rakyat maka perlu revolusi bukan hanya mental maupun akhlaq tetapi revolusi kembali pada Pancasila dan UU1945.
(CSan/ Prihd).

Pembaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama